• Lima belas

5.3K 374 6
                                    

Ibu membenarkan posisi kerudung, kaca di tengah rumah memang dipasang supaya penghuni rumah bisa melihat penampilan sebelum keluar.

Tetiba pengelihatannya terpaku pada rak sepatu, dia menyipit kemudian balik badan lalu menuju rak.

"Ya ampun Ge, sepatu mu kotor sekali," kondisi sepatu sangat memusingkan kepalanya membuat geleng kepala. Dia teringat istri anaknya itu. "Punya istri ko ngga becus jaga suami. Cuciin ke, bilangin ke. Dasar!"

Sambil menenteng sepatu tadi, Ibu menuju kamar mereka, membuka dan melebarkan kelopak matanya. "Ngapain belajar? Astaga Jana, udah dibilangin ngeyel banget."

Tak siap kedatangan Ibu, perempuan mengenakan kacamata belajar itu langsung menutup buku lalu merapihkan buku beserta perentelannya.

"Datipada belajar mending cuci sepatu nih, kamu gimana sih! Keperluan suami ngga di urus, belajar buat apa? Udah jadi istri tugas bukan pr lagi. Tapi suami!"

Jana mendongak dan menatap Ibu mantap. "Nggak ada batas usia buat belajar."

Makin melotot Ibu, dia menjatuhkan sepatu. "Belajar jadi istri juga tugasmu! Beruntung kali kalau aku dapat menantu macam Haifa itu, penurut, baik, pandai masak."

"Jangan bandingkan Jana sama dia," kesalnya.

"Memang betul dia lebih daripada kau, kenapa? Tersaingi. Pantas lah."

Suara seseorang terdengar. "Ada apa sih, Bu?"

Kepala Ibu nengok dan tertawa meremehkan. "Nih loh, Nis. Dia iri sama Haifa."

Tak ada tanggapan dari wajah adik iparnya, Nisa menatap lurus dan menusuk. Beberapa saat Jana menahan napas, tak yakin dengan apa yang terjadi didepannya. Dia Nisa kan?

"Sampai kapanpun lo ngga bisa rebut Bang Ge," Nisa berlalu. Kemudian Ibu juga keluar.


::


Gimana ya, Jana merasa sudah lelah batin. Semua bandingan dari Ibu menusuk otak, apalagi fakta bahwa Haifa lebih cantik. Rasanya Jana ingin menginterogasi Gema. Oh iya! Ntar malam ah.

Sifat keras kepala Jana hilang, seakan lenyap. Malah condong ke manja, bawaan bayi kali ya.

"Dimakan katuk nya! Bengong mulu!  Mbak Lastri capek buatnya. Jangan jadi nyonya, maunya di manja mulu," sinis Ibu.

Tak ingin pusing berdebat, Jana menyendok kuah dengan pelan. Membiarkan sejenak hingga rasa sudah tak terlalu panas.

Ibu duduk dibangku kanan, dia mengangsurkan segelas susu hamil. Jana mengambil pelan, meneguk setengah.

"Habiskan!" hardiknya.

Menahan mual Jana menandaskan. Dia menutup mulut berusaha tidak muntah.

Ibu nampak tak perduli hanya memandang dengan raut datar. Setelah dirasa baik pendengaran Jana kembali menangkap suara Ibu. "Sekarang senam."


::

Tau hal apa yang paling menyebalkan dari senam hamil? Otoriter Ibu penyebabnya, rasanya ingin menyangkal saja. Jangan lupakan bahwa Jana pernah menggaet juara satu debat antar kelas.

Sebenarnya debat tidak diperbolehkan, tapi rasanya mulut ini ingin sekali menimpali. Berhubung Jana ingat Allah, kehamilannya, anaknya dan mentalnya jadi debat dengan mertua bukan tindakan bagus. Kecuali kemarin-kemarin, entah selanjutnya.

"Pinggul kamu Jana! Rabbi! Berapa kali Ibu bilang jangan lemes gitu, kakinya lebarin. Bisa olahraga ngga sih kamu?!" kini Ibu berkacak pinggang menatap nyalang.

Dengan santai tak terpengaruh Jana mengangguk dan mencoba dengan maksimal. Daritadi dia tidak mengerahkan seluruh kemampuan, karena malas. Masih ada sisa mual gara-gara katuk.

Berusaha semaksimal mungkin senam bermanfaat banget bagi kehamilan, bahkan jika saat hamil terlalu malas proses kelahiran akan sulit. Maka Jana terbuka pikirannya, Ibu ada betulnya juga mengajak senam dari trimester kedua.

Nisa datang, gadis berbeda dua tahun dari Jana itu lengkap berpakaian rapih. Cantik, dengan hijab gaya terkini, celana jeans melekat Indah dan polesan make-up yang lumayan tebal. Jana tak suka pada akhir kalimat tadi.

Bergayalah sesuai umur. Tidak melarang untuk mengeksplorasi penampilan, silahkan saja. Tapi untuk ber make-up terlalu menor tidak pantas.

"Aku mau jalan sama Bang Ge," katanya setelah salim dengan Ibu.

Kerutan bertambah pada kening wanita itu. "Ke mana?"

Sengaja Nisa melirik Jana, tersenyum angkuh. "Ke mall, nonton. Sumpek katanya dirumah."

Merasa terpanggil Jana menatap diam masih memperhatikan kedua orang di depannya hingga Nisa beranjak pergi.

Kata Gema sumpek di rumah?
Apa Jana se-membosankan itu?

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang