• Tiga puluh empat

6K 341 1
                                    

"Astagfirullah," tangan Mamah membekap mulut, airmata menurun seiring sakit hatinya mendera.

Najla dengan cekatan menggunting beberapa bagian baju agar mudah melepaskannya. Mungkin Jana akan dibiarkan begitu, toh tidak ada yang melihat aurat adiknya. Fadli tidak ada dikamar, dia mengawasi Papah jika emosi pria itu meluap.

Papah pemilik rumah sakit tempat Najla dan Fadli bekerja sengaja meminta agar keduanya cuti saat mengetahui tempat penyanderaan tersebut.

Memperhatikan banyak luka sayatan, Najla berusaha menahan tangis. Kenapa nasib Jana begitu tragis? Anak yang disayangi mamah ini malah jatuh kepada orang tidak tepat. Darah kering membuatnya harus bertindak kilat, menghapus airmata Naja mengobati dulu luka-luka itu.

"Gema gimana, Mah?" tanya Jana membuat Najla menggeram dalam hati.

Tidak ada jawaban. Najla kembali dengan sebaskom air juga kain. Tangannya bergerak membersihkan darah yang sudah mengering, bersihkan banyak goresan panjang pada punggung Jana dengan cekatan sebab perempuan ini berjalan menuju melahirkan. Empat pembukaan lagi anaknya lahir.

"Mah, Gema," lirih Jana sambil bergerak.

Dengan lirikan tajam Najla menyahut. "Bisa ngga kamu fokus ke anak kalian aja."

Jana melemah. "Aku khawatir sama Gema," katanya menunduk.

"Iya tau, tapi siapkan diri buat melahirkan aja. Soal Gema nanti dia ke sini," balas Najla tenang.

Jana antusias bahkan melupakan sekujur tubuhnya yang sakit.
"Beneran?"

"Iya kalo masih ingat punya anak istri."

Jawaban bernada dingin itu berefek buruk pada Jana, ingin membela pasti tidak akan digubris. Sekarang waktunya mengeluarkan anaknya dulu.

Sementara di ruang tamu, Fadli menyodorkan air pada mertuanya. Duduk sambil memangku Aneeyla.

Bocah berumur dua tahun itu nengok dan berupaya meraih Kakeknya. Prasetyo tersenyum tipis lalu dengan cengiran dan tawa Aneeyla beralih duduk. Khas wajah Najla jika seperti itu.

Bel berbunyi tiga kali.

Berdiri, Fadli bergerak buka pintu. Lalu mematung bertatap muka dengan adik iparnya. Dengan meringis dia tersenyum tidak enak, berhasil baca respon jika Gema masuk dan diomelin salah satu pilihan kurang tepat. Ditambah banyak luka itu belum sempat terobati.

"Lo ngapain?"

Lelaki itu tidak mengindahkan, beranjak masuk tanpa bantahan. Membikin Fadli dan Gumilar hembuskan napas panjang kemudian mengekor.

"PERGI!"

Nah, kan.

Lekas Fadli terpogoh-pogoh menuju tempat itu, kesehatan Papah bisa menurun dan itu bukan pertanda baim.

Kedua lelaki yang baru hadir itu memisahkan mereka, terutama Prasetyo yang hendak menendang sedangkan Gema memeluk kaki mertuanya.

"Istighfar, Pah. Jangan dituruti. Astagfirullahaladzim," ujar Fadli berulang kali.

Prasetyo tidak bisa, lelaki pengkhianat ini sukses bikin anak bungsunya luka. Memang belum cukup luka ditorehkan di batin! Dia mengingat saat Jana dan Gema dilanda masalah. Keputusan menikah Prasetyo akui itu salahnya tapi taktik Gema yang hingga saat ini berjaya mengelabui Jana hingga hampir tewas itu tidak termaafkan.

Apalagi kemerahan pada pipi akibat aksi gila adik lelaki ini. Semarah apapun Prasetyo dia paling banter hanya kasar di mulut. Selebihnya tidak pernah menampar!

Sambil menahan emosi dia merespon upaya Gema. "Pergi! Jangan ke sini lagi. Saya urus perceraian kalian."

"Tidak!" tegas Gema sambil menahan sesak pada dada.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang