Mbak Lastri hari ini kurang sehat. Wanita dengan wajah hampir mengeriput itu menyeka keringat, bersandar pada kulkas sebentar. Semua tak luput dari pengelihatan Jana.
Baru mandi, niat ingin mengambil marshmallow yang semalam dibelikan Gema buyar melihat lemasnya Mbak Lastri.
"Saya yang masak aja, Mbak."
"E-eh nggak usah, Non. Saya nggak papa," tolaknya tak enak hati.
Jana mengibas tangan tak ingin diganggu gugat. Tangannya memotong bawang dengan lihai.
"Non, salah motongnya. Harusnya gini," memotong bawang digantikan oleh Mbak Lastri sambil duduk.
Kepala Jana menoleh, "Jana goreng tempe ya?"
"Iya. Sedang aja apinya, Non."
Seraya menunggu minyak panas, dia menghampiri Mbak Lastri, duduk sambil menopang dagu. Memperhatikan cara memotong sayur-sayuran.
"Kenapa panggil Aku non?" dengan cemberut Jana bertanya.
Senyum Mbak Lastri terbit. "Non kan istri Gema. Jadi wajib saya panggil Non."
Bibir perempuan itu makin kedepan, dia beranjak menuju penggorengan. Memasukkan tempe yang sudah direndam bumbu.
"Sama Gema ngga panggil 'Den' atau embel-embel apapun. Kok sama Aku pake? Ngga adil!" katanya pura-pura merajuk.
Mbak Lastri tertegun. Seperti anaknya, Jana mirip dengan putrinya di kampung. Sudah berapa lama meninggalkannya? Masih ingatkah dia?
Tak kunjung mendapatkan sahutan, lantas Jana berbalik dan melebarkan kelopak matanya. Buru-buru memegang bahu Mbak Lastri. Apakah omongan tadi menyakiti?
"Nggak Non. Saya hanya ingat anak saya. Dia mirip dengan Non," mata yang masih tersisa luruhan cairan itu memandang bersih, memegang pipi halus di depannya. Airmata semakin meluruh, sungguh dia merindukan putrinya.
Jana mematikan kompor dulu. Dia memeluk Mbak Lastri, mengenyahkan bau terik matahari karena kegiatan menjemur tadi dan menampik bau bawang karena bergelung di dapur. Ketika menemukan titik itu, semua kendala fisik lenyap menyisakan perasaan hangat.
"Ngapain kamu! Lepas!"
Keduanya tersentak kaget dan melepaskan pelukan. Memandang Ibu dengan ekspresi berbeda. Mbak Lastri dengan ketakutan sementara Jana dengan mendesah dalam hati. Sabar, Jan. Jangan emosi.
Ibu menginjak tangga terakhir dan mendekat. "Nggak level kamu sama dia," tunjuknya pada Mbak Lastri.
Merasakan itu tertuju padanya, Mbak Lastri turun dari bangku kemudian melanjutkan kegiatan memasak sambil sesekali mengusap airmata.
"Jangan menghina, Bu," Jana sudah muak dengan kelakuan mertuanya ini.
Tak cukup memang? Merendahkan Pak Satpam karena lelet membuka pintu, padahal pria itu tengah masang gas yang kala itu habis.
Mengejek menu makan siang karena berbagai alasan, keasinan, hambar, pahit dan banyak lagi. Padahal di lidah Jana biasa aja, bahkan enak. Aneh betul Ibu.
Belum lagi jika kesal karena sesuatu semua orang kena damprat, tak apa jika tidak keterlaluan. Ibu bahkan akan menyakiti fisik dan hati!
"Sok suci kamu ya?" Ibu mendekat, tubuh Jana tetap berdiri tegap. Mata menyalang itu tidak terlalu berbahaya bagi Jana.
"Kalau saya sok suci, Ibu apa? Sok kotor?" kata Jana menantang.
Dari dekat kompor, Mbak Lastri benar-benar khawatir akan pertengkaran lebih besar. Selama ini belum pernah ada yang melawan Ibu. Tidak sekalipun.
"Anak kurang hajar. Sudah ditolong malah melonjak! Lemah, Bod-" dia menghentikan bicara saat pendengarannya menangkap suara Gema dari luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akrasia |✔|
SpiritüelGema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gema, menghadapi karakter orang. Segalanya terasa sulit, semesta memang paling bisa membuat manusia leb...
