• Dua puluh empat

4.1K 291 0
                                    

Jana termagu, hari mulai terang. Sementara Gema masih mandi tatapan Jana seakan tak terlepas dari dinding. Bukan karena warna cat melainkan botol kaca itu.

Dia sama sekali tidak tau. Jenis apa, beberapa kali ponselnya mencari di google tidak ketemu, hanya menampilkan error. Selalu.

"Lamunin Aku?" suara tak asing terdengar, jangan lupakan wajah jahil Ayah muda itu.

Jana menormalkan muka, jangan kelihatan aneh lantas berdecak pelan, geleng kepala. "Kenapa Kamu ini pd banget."

Sambil tertawa menanggapi, rambut Gema masih digosok handuk. Teringat wajah perempuan itu yang tirus berubah jadi pipi gembul, mereka sudah hampir setahun bersama, banyak kejadian berlangsung, perubahan fisik Jana membuat tangan Gema tidak bisa tahan mencubit. Makin gemes tau.

"Gema!" pekik Jana tak suka, berusaha menepis. Beberapa kali berhasil tapi Gema tidak ingin melepaskan begitu saja, boleh tidak Gema bilang ini bayaran akan semua kemanjaan, kekanak-kanakan, kemarahan, dan ngidamnya Jana.

Kini dengan tubuh Jana sudah terkurung, Gema mengunci tangan perempuan itu agar tak mengelak. Gema mencium seluruh wajah Jana, kenyal pada bagian pipi bikin bibir Gema menghisap dengan lembut tapi menuntut. Beruntungnya dia punya Jana yang sabar ini, walaupun sikap tegasnya membuat Gema geleng kepala.

"Jahat banget!" ucap Jana sambil menyeka airmatanya. Dapat dipastikan seluruh permukaan wajahnya bercak merah. Lantas kalau keluar lalu ditanya bagaimana? Gema ngeselin!

Bukan adegan mesum, ya adik-adik. Mereka lagi bercanda.

Masih dalam kungkungan, hanya melonggarkan sedikit Gema menunjukkan sederet gigi. Memeluk setelah Jana nampak tenang, walau agak berontak sedikit paksaan Jana akhirnya tak berkutik.

Menikmati waktu demi waktu, suatu pemikiran yang berhasil jadi topik khawatirnya tepat diungkapkan sekarang.

Awalnya Gema ragu, tapi jika bersembunyi dari Jana bisa dipastikan perempuan itu akan ngambek.

"Bentar lagi jadi orangtua, Jan. Gimana perasaan Kamu?"

Diam. Tidak menyangka akan mendengar pertanyaan itu. Sedikit gugup Jana menjawab. Raut sendu tergambar. "Takut, Ge. Khawatir anakku nggak terawat dengan baik. Anak bukan cuma lahir, sekolah dan lain-lain. Tapi mereka butuh bimbingan, butuh teladan. Apalagi Kamu tau kan anak adalah peniru ulung. Kalau Aku buat kesalahan dab ditiru, gimana?"

Gema semakin mempererat pelukan, memberikan. Kelegaan ada mendapati Jana juga merasakan hal sama. Mereka belum pantas untuk bisa disebut orangtua baik, emosi saja masih meluap-luap.

"Kita sama-sama takut, tapi apa harus takut melulu? Nggak Jan. Aku pun sama takutnya, kalau anakku ngga bener gimana? Jujur ya ,bahkan setiap malam Aku kepikiran. Mau nyerah? Nggak bisa, udah jadi gitu anaknya. Aku akhir-akhir ini lagi berusaha belajar untuk dewasa. Lebih memandang semua dari prespektif lain. Lebih adil. Jadi, jalanin aja. Sambil terus belajar."

Nada suara Gema santai tapi punya pengaruh besar, Jana ikut mengeratkan pelukan. Berharap segalanya akan baik-baik saja. Bismillah.



::


Berkali-kali mata Ibu melotot pada Jana,kayak pengen terkam. Apa Ibu kanibal? Ditambah teriakan bernada kesal. Jana benar-benar ingin ke kamar aja.

Ya, sulit lah. Makin ke sini kehamilan membuat gerakan Jana melambat, karena berat pada perut. Posisi merangkak kata Ibu mengurangi rasa nyeri pada proses melahirkan, Jana ingin duduk saja. Lima menit terasa satu jam.

"Tarik napasnya! Lupa mulu sih. Pikun kali ya," dengus Ibu saat latihan tadi.

Seraya menghembuskan napas Jana menguatkan diri. Sabar Jan, di depan lo itu mertua.

Satu gerakan lagi, Ibu melirik ponsel sebentar.

"Diri abis itu jongkok. Tahan beberapa menit."

Dengan piawai wanita itu berdiri kemudian berjongkok, jeda beberapa hitungan detik lalu berdiri kembali. Jana memperhatikan setiap pergerakan, saat Ibu berhenti dia menatap.

"Lakukan! Malah diem."

Jana meringis sambil mengangguk, dia kira akan ada gerakan lain. Ternyata hanya dua gerakan. Seiring gerakan, Jana akan bernapas lebih banyak, himpitan pada dadanya begitu membuat sesak. Maklum satu setengah bulan lagi melahirkan.

Suara Ibu kembali terdengar. "Gerakan itu biar kepala bayi sudah di panggul. Jangan pake alasan! Cepetan."

Setelah melakukan berkali-kali Jana selesai, dia meluruskan kaki. Memijat pelan.

"Nih, Ka."

Kepala Jana menoleh, Putri menurunkan plastik putih berisi ceker ranjau. Akhirnya! Makanan kesukaan Jana.

Mata Jana memberi kode. "Bawa ke kamar Kakak ya."

Putri memberikan jempol, tersenyum tipis dan berlalu.

Tangan Jana menumpu pada dinding, berdiri diam sebentar. Mengusap perut besar nya. Pikiran Jana melayang pada penelitian LSD. Hingga kini belum terjawab.

Dia mendesah dalam hati, mengenyahkan dulu. Kini dia ingin makan ceker ranjau. Pengen banget. Sampai ngiler.

Panggilan Mbak Lastri di dapur membuat Jana berhenti jalan dan menghampiri.
"Mau kemana nduk?"

Dagu Jana menunjuk kamar. "Mau ke kamar, kenapa Mbak?"

Nampak kelegaan dari wanita itu, dia lalu geleng kepala.
Menyadari keanehan Jana mengambil kursi, duduk, perutnya tidak bisa diajak kompromi jika berdiri terlalu lama.

"Ada apa? Ngomong aja."

Sepasang mata Mbak bergerak ke kanan-kiri, mengawasi. Kerutan Jana semakin dalam. Ketika mulut Mbak Lastri ingin terbuka, dia kembali bungkam memilih untuk geleng kepala.

Jana mendengus, ceker ranjau nya keburu dingin. "Mbak yang bener dong! jujur aja. Ada apa?"

Agak tersentak, Mbak Lastri menundukkan kepala. Dia semakin gemetaran, Jana merutuki mulutnya nada digunakan tadi terlalu tajam.
"Maaf, Mbak Jana kasar. Beneran, ada apa?"

"Udah nduk, pokoknya hati-hati."

Duh pening sekali Jana dibuatnya. Mulut Jana ingin bertanya keanehan Mbak Lastri, Putri tiba-tiba muncul. "Ayok Kak, ok malah disini."

"Hati-hati," ujar wanita itu pelan.

Kebingungan sontak melingkupi Jana. Tidak yakin jika ini hanya peringatan biasa. Otak Jana langsung menyambung kesegala hal. Namun nanti saja, Jana harus mengorek lagi.

"Hati-hati kenapa?"

Mbak Lastri keburu balik badan melanjutkan masak membuat Jana mengerutkan dahi seraya menuju kamar.

Dengan sama gembiranya kami makan dengan lahap, melihat Jana makan Putri hanya bisa geleng kepala. Dia suka pedas tapi kehadiran kakak iparnya ini membuat Putri harus menghapus status sebagai penyuka pedas nomor satu di rumah. Jana benar-benar melahapnya habis, kecuali tulang.
Putri tidak bisa menebak reaksi Gema nanti.

Putri merasa sangat senang bisa dekat dengan Jana.

Baru dipikirkan tadi, Bang Ge sudah muncul dari balik pintu. Keningnya berkerut bingung sedangkan Jana tidak sadar karena posisinya membelakangi. Ingin memberitahu gerakan tangan Gema membuat aksinya batal, sambil tersenyum dia hanya diam.

Gema hanya mendesah dalam hati, Jana sulit dikontrol jika sudah dihubungkan dengan makanan pedas. Dia akan pendebat paling kuat, bahkan oleh Gema. Namun tetap berkuasa ialah laki-laki.

"Enak?" Gema berdehem sebagai pemanasan lalu bertanya sambil mengangkat alis.

Perempuan itu tak bisa menyembunyikan raut kaget detik kemudian cengengesan dan mengecup pipi Gema. Jurus pamungkas.

Kali ini Gema tidak dapat dibantah. Gara-gara seblak empat hari lalu Jana buang air besar dalam jangka waktu lama, pasti dia sakit perut. Anaknya bagaimana? Jana memang ceroboh.

Datar. Lelaki itu memilih keluar kamar. Ngambek.

Pandangan Jana langsung redup, dia mengigit bibir, apa sudah keterlaluan ya? Saat ingin meminta bantuan adiknya, Putri sudah mengangkat tangan.

Huh!







Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang