• Sebelas

5.7K 340 4
                                    

Jana tak bisa melanjutkan makan salmon!

Memang baik bagi anaknya tapi mamahnya alergi. Bagaimana?

Tangan Gema setia mengurut pelan tengkuk leher Jana. Padahal dari tadi Jana sudah menepis agar menjauh.

Gema harus berbicara perihal ini pada Ibu. Melihat lemas dan mualnya sekarang membuat Gema hanya bisa menghela berat. Tidak bisa menolong, selain mencoba negosiasi. Mudah-mudahan Ibu mengerti. Entah sejauh mana Ibu mengatur Jana, perempuan itu tidak pernah bilang.

Saat suara air terdengar, Gema tersadar dan merangkul tubuh Jana yang lemah. Membaringkan di kasur, lalu memijat pelipis Jana. Tanpa ditepis lagi, Gema disatu sisi senang tapi iba kala tau Jana selemas itu.

"Minum teh hangat?" tanya Gema seraya tangannya masih aktif mengelus perut Jana. Perempuan itu masih terpejam menetralisir pusing.

"Nggak. Mau tidur aja," putus Jana tanpa ekpresi. Sengaja mengusir Gema.

Lelaki itu bangkit dan mengusap sekilas kening Jana yang tak menatapnya.

Sudah tiga hari terhitung, berbagai kegiatan yang sempat dibicarakan terealisasi. Jana harus mengikuti aturan Ibu. Rasanya tak nyaman, benar-benar bukan dirinya sendiri. Pagi-pagi sarapannya hampir sayur katuk melulu. Bahkan Gema pernah ikut menghabiskan, mungkin alasannya kasihan. Sedangkan Jana harus menerima tanpa perlawanan, bisa-bisa ditarik ke rumah Om Ridwan jika memberontak. Jana kapok!

Dia tak bergairah, semua hal telah diatur. Bahkan Jana hanya punya beberapa jam saja untuk berdiam diri, itupun karena shalat dan beberapa hal. Perkara salmon, Jana menyerah. Dia tak suka ikan berprotein tinggi itu. Hampir setiap malam mualnya bereaksi dan selalu ada Gema yang membantu. Tentang lelaki itu sebenarnya sudah tidak ada masalah, sikap Jana bisa sedikit baik padanya.

Airmata tiba-tiba turun, dia kangen dengan kehidupan sebelum menikah. Pusing karena tugas bukan kehamilan, bercanda ria dengan hati lega bukan tertawa dengan kepura-puraan, membicarakan universitas dan bebas hangout tidak terperangkap seperti ini.
Sekarang? Jangan ditanya. Izin untuk pergi ke Leyna saja harus menunggu empat hari lagi.


::


Langkah kaki Gema berbelok menuju kantin, baru bel dia sudah beranjak maka tak heran keadaan lorong menuju kantin sepi.

Kepala Gema terangkat setelah membenarkan posisi jam tangan, memelankan laju saat melihat satu perempuan dengan posisi beberapa langkah di depannya sedang membawa setumpuk buku. Pasti ingin ke kantor, jabatan wakil ketua kelas membuat Haifa harus bertanggungjawab terhadap kelas.

Awalnya otak Gema berfikir untuk membiarkan saja, tapi melihat ketebalan buku membuat jiwa empatinya terpanggil. Ketika Hafsah mendekat, Gema menawarkan diri. "Gue bantuin ya."

Dengan pipi memerah khas Haifa memindahkan beberapa buku ke tangan Gema, hingga dia hanya memegang sedikit buku. Pandangannya terus menunduk. Memang seperti itu.

"Meja siapa?"

"Pak Sunyi," jawabnya pelan dan halus.

Memang tidak ada obrolan tapi siapa sangka debaran jantung keduanya tak dapat dikendalikan. Gema berusaha untuk terus bersikap biasa. Matanya sempat melihat warna kemerahan pada pipi putih Haifa, apakah perempuan itu mempunyai rasa? Gema enggan menerka. Tetapi kenapa sikapnya berbeda.

"Assalamualaikum," ujar Haifa seraya mengetuk pintu. Ruangan kantor guru lumayan luas nampak banyak para guru tengah mengistirahatkan diri. Karena sedang istirahat. Beberapa dari mereka menjawab salam.

Bu Desi melihat dengan sorot mengintrogasi. Khas guru itu. Dia membenarkan kacamata.
"Cari siapa?" alisnya menukik.

Haifa menyunggingkan senyum, "Meja Pak Sunyi, saya mau naro buku."

Wanita berhidung mancung itu mengangguk dan nengok ke kanan. "Mejanya dekat figura emas itu."

Mengucapkan terima kasih, keduanya bergegas meletakkan semua buku.

Mata Haifa memandang dengan sorot meneduhkan sebelum kembali mengalihkan pandangan lagi. "Makasih."

"Iya," kata Gema dengan senyuman.

Lelaki itu berjalan menuju kantin yang sudah dipastikan ramai. Dia membeli satu porsi mie goreng dan sebotol air mineral dengan maksud dimakan di halaman sekolah.

Beberapa teman Gema menyapa sepanjang jalan. Ah, kejadian tadi masih membuatnya tersenyum.

Sesampainya disana, Gema bergabung dengan teman-teman lain. Hanya ada enam laki-laki dikelas selebihnya perempuan, jadi tak heran kenapa mereka akrab. Makan di kelas akan menjadi pilihan kalau di halaman sekolah ini penuh. Kalau sepi ya pasti keenamnya lebih baik menyantap makanan disini.

"Woy minta nasi dong," teriak Nathan.

Yang membawa nasi langsung peka dan memberikan secukupnya, Nathan tersenyum gembira kemudian melahap makanan. Makan ramai-ramai dengan masing-masing membawa kotak bekal lalu satu sama lain boleh meminta adalah moment paling enak, Gema lupa memasukkan bekal yang sudah disiapkan Jana ke dalam tas.

"Gee, makan yok. Nih, emak gue masak teri dicabein," Delvin menawarkan kotak makan.

Belum sempat menjawab tangan Nathan keburu mencomot mengundang tatapan kesal. "Ini buat Gema, maruk banget lo."

"Efek matematika," bibirnya terbuka lebar.

"Matematika bikin pusing otak bukan perut," celetuk Ghani.

Nathan menoleh. "Dari otak turun ke perut, Mas."

Semuanya bergidik ngeri, apalagi Ghani dia sudah melemparkan kulit jeruk pada wajah menyebalkan Nathan. "Gila lo ya."

"Nggak kok, gue sehat walafiat," jawab Nathan cuek. "Eh, malem futsal di tempat biasa."

Keenam lelaki itu memasang tampang berbeda, paling mencolok Kelpan yang sudah menaik turunkan kedua alis, memasang tampang jahil. "Oke aja sih gue mah. Oh iya, Lo pengen traktir burger King, Nat? Gue sih setuju aja. Futsa Acc dah."

"Ngikut gue!" seru Qorni dengan semangat.

Mulut Nathan sudah terbuka ingin memprotes usulan tak berdasar itu, Gema keburu memotong.

"Tambah pizza, Nat. Gue nggak terlalu suka burger."

"Minum jan lupa," ucap Rahadian mengingatkan, wajahnya sudah menahan tawa. Kapan lagi mengerjai Nathan.

"Wah kagak dah. Up gue up. Lo ada aja sih, Klepon!" deliknya kesal.

Walaupun kesal namanya juga wajah humoris terlihat aneh jadinya.

Delvin sengaja mengeraskan suara di tangannya memegang ponsel.
"Bang Gun udah setuju nih. Jam sembilan ye, jangan ngaret. Terutama yang mau traktir."

Nathan memasang tampang pasrah, teman-temannya tertawa.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang