• Lima

8.8K 497 8
                                    

Ketukan pintu mengalihkan perhatian Jana dari ponsel. Dia membuka dan mendapati Nisa meringis menahan sakit.

"Mbak punya pembalut?"

Kepala Jana naik turun, segera mengambil benda itu dari laci. Teringat wajah pucat adik iparnya Jana memberikan saran.
"Minum jahe biar agak enakan."

Nisa tersenyum, jempolnya diangkat. Tersenyum penuh lega, biasanya Gema siap saja diperintahkan olehnya membelikan pembalut. Berhubung sudah ada, Nisa senang, jadi tidak merepotkan Gema.
"Sipp. Arigatou gozaimasu," badan Nisa membungkuk.

Sejauh perkiraan Jana, adik iparnya ini punya sifat supel jadi Jana tidak canggung juga beberapa kali cerita-cerita. Itu menjadi hiburan tersendiri di rumah ini.

Sebuah pertanyaan tetiba terlintas berhubungan dengan pembalut tadi.

Kenapa belum dapat haid juga ya?

Dua puluh menit kemudian akan ashar, Jana mandi kemudian bersiap melaksanakan shalat.

Perkara haid jujur, sebulan berlalu Jana tidak merasakan apapun. Namun tidak disangkal moodnya cepat berubah, bahkan hanya gara-gara mie milik Putri, cemberut Jana sudah keluar. Airmata gampang turun, padahal Jana pantang menangis di depan orang. Sekarang? Cengeng banget.

Seperti sekarang gejolak ingin mie buatan Putri kembali ada sementara Putri siap membuatkan.

"Sini, Mbak."

Dengan patuh Jana memberikan mangkuk sudah ada bumbu mie dan duduk. Perutnya ingin segera di isi, aroma kuah kari menggelitik hidung Jana. Sabar, sebentar lagi.

Tunggu, Jana punya pilus. Lantas dia ke kamar, hampir menabrak pundak Gema yang hendak keluar pintu. Tangan Jana menggapai kulkas kecil yang disediakan, mencari bungkus warna kuning. Dapat! Dia berlari turun.

Melihat lelaki itu menyuapkan mie, wajah ceria Jana perlahan memudar. Bayangan mie kari ayam plus telur setengah matang dicampur cabe dan pilus seketika hilang. Jana merasa pandangan buram, bersiap cairan itu meluruh. Bibirnya tanpa sadar turun ke bawah.

Putri keluar dari kamar mandi langsung menyenggol lengan Abangnya, takut-takut matanya mengarah pada Jana.

"Duh!  Bang itu punya Ka Jana."

Mulut Gema batal menyeruput kuah di sendok, lantas dia menoleh dan mengerutkan kening tak suka. "Kamu kok gak bilang."

"Ih, Abang y-"

"JAHAT!"

Keduanya menganga, Gema membalikkan badan melihat sumber suara tengah berjalan naik tanggan dengan langkah cepat. Duh! Benar-benar gawat, di kira punya Putri.

Wajah Jana saat di kamar penuh airmata, kenapa Gema jahat banget sih.

Dengan terisak-isak, dan menjatuhkan tubuhnya kearah kasur. Pilusnya jatuh, tapi bodo amat toh mie sudah tidak berbentuk sempurna lagi tadi mata Jana sempat melirik masih ada sisa namun tetap berbeda rasa. Tidak senikmat pertama. Jana kecewa. Dia makin meraung dengan airmata mengalir lancar.

Merasakan kasur bergerak Jana langsung menggeser posisi untuk lebih dekat ke tembok. Entah itu siapa, pokoknya Jana malas!

"Jana," panggil Gema pelan. Wajah lelaki itu gelisah, rasa bersalah bersarang membuatnya kian mendekat. Menepis rasa tidak nyaman, juga karena tidak mendapat respon dari perempuan yang kini menangis lagi. "Maaf, gue gak tau."

Satu tangan Jana mengibas, menyuruh pergi.
"Sana!"

Otak Gema sudah mengiyakan  melenggang pergi, tapi rasa bersalah masih melingkupi. Dengan amat menyesal dia berkata. "Maaf Jan. Gue beneran ga tau."

Perempuan itu malah bertambah terisak hingga bahunya bergetar. Kekhawatiran Gema hadir. Menangis hingga sesegukan pasti menyebabkan pening kepala.

"Gue bikinin mie lagi, yuk."
Tidak dijawab. Tapi masih menangis. Jemari Gema menyugar rambut dengan frustasi. Dia mencari solusi lain.
"Apa mau Putri yang bikin?"

Ternyata dari luar kamar, Putri sudah bersiaga, saat mendengar namanya disebut lantas dia masuk. Menawarkan diri.

"Putri masakin lagi aja, gimana? Nanti Bang Gema dicubit aja. Ngeselin emang," katanya sambil mengancam Gema.

Perlahan tangisnya lebih mereda, hanya mereda bukan benar-benar hilang. Bahunya masih bergetar. Putri melirik kesal. Tau betul gembiranya dan keinginan Jana pada mie buatannya. Bahkan hampir menangis juga sebab tidak kebagian mie.

"Gara-gara Abang, sih!" delik Putri.

Gema meringis. "Abang gak tau, Putriii ... Coba kamu kasih tau dari tadi."

Dengan pelan dia menatap serius. "Lain kali tanya dulu makanan siapa, main makan aja. Gak jadi darah daging kalau dari makanan haram."

"Iya, maaf."

Pandangan mereka beralih pada Jana. Perempuan itu tidak mengeluarkan isakan dan bahunya naik turun seperti tadi. Gema perlahan menyingkap selimut yang menutup wajah Jana.

"Dia tidur."

"Yaudah, biarin aja. Awas kalo Abang sampe kayak tadi lagi."

Gema ikut bangkit juga, menutup pintu.

"Iya Putri. Btw, makanan Jana buat Abang aja ya."

"Abang!" mata sipit adiknya melotot.  Berulah lagi dia.

Gema tertawa kecil lalu mengacak rambutnya. Kabur sebelum nenek lampir itu mengamuk.



::




Setengah sadar, Gema menepuk samping tubuh dan tidak ada apapun kecuali sprei. Matanya langsung terbuka dan duduk, celingak-celinguk ngambil mencari sosok perempuan yang setelah Isya menangis itu. Sambil mengucek mata, dia turun dengan pelan. Mungkin tengah di dapur atau menonton TV diruang tengah. Hanya presepsi aneh, karena Jana jarang sekali keluar kamar malam hari.

Melihat ruang televisi kosong, langkah kaki Gema mengarah ke dapur. Dilihatnya perempuan itu membuka bufet kecil samping kulkas dari gerak-gerik yang ditunjukkan,  dia kebingungan.

Gema menyentuh bahunya membuat perempuan itu terkesiap dan hampir jatuh, jika tidak dipegang Gema. Karena masih berdebar kaget perempuan itu terdiam memandangi manik mata Gema. Beberapa saat kemudian melepaskan diri dari rengkuhan tadi, memalingkan wajah, masih kesal.

"Mau masak mie?"

Nada sinis lansung dilontarkan. "Iya!"

"Maaf Jana, gue salah."
Sesal Gema mengingat kejadian mie.

Gema mengambil sebungkus mie dari almari paling ujung. Pantas saja tidak ketemu, batin Jana gemas.

Lelaki itu memperhatikan Jana. "Lebih baik duduk aja Jan, gue yang masak."

Dengan gesit Jana merebut bungkus mie dan menyalakan api diatas panci berisi air. Jangan lupakan ada satu butir telur, sawi dan sosis di talenan.

Niat banget bikin mie.

Dengan lembut dia mengambil lagi bungkus mie, memegang tangan perempuan itu untuk duduk di kursi.
"Anggap, ini permintaan maaf gue."

Mesti terpaksa Jana membiarkan lelaki itu membuatkan mie. Betul, dia memang harus bertanggungjawab atas kesalahannya. Sambil menunggu matang, sebungkus cokelat selesai dikunyah. Jam pada ponselnya menunjukkan pukul satu malam. Masa bodo dengan pagi ini Gema harus sekolah, dia harus bertanggungjawab pokoknya. Siapa suruh makan mie punya Jana.

"Nih."

Sendok sudah berada diatas mangkuk Jana putar untuk meratakan jika ada bumbu yang masih menggumpal.

Suara Gema menginterupsi. "Di kamar aja, gue mau shalat. Ntar lo sendiri."

Mata Jana membalas tatapan khawatir itu dengan acuh.
"Gak."

"Jana."

Perempuan itu masih sibuk menghabiskan mie, membiarkan Gema pergi.

Sungguh, dia benci lelaki itu. Seakan menerima semua. Padahal bisa kan menolak. Lelaki itu harusnya bisa tegas bukan menerima saja tanpa memikirkan konsekuensi. Apalagi kejadian mie, menambahkan daftar alasan Jana membenci saja!

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang