Berhenti, Selesai

202 15 0
                                    

Hanya butuh satu alasan mengapa kamu pergi, bukan seribu.

***

Drrrtttt!

Drrrtttt!

"BERI—SSSHHIT!" umpat Chalya diiringi membanting ponselnya di rerumputan belakang sekolah. Hal yang paling ia sayangkan bukan ponselnya kalau rusak, tetapi kalau ia harus mengabaikan panggilan orang tertentu.

Namun, entah kenapa ia merasa tidak ada orang istimewa atau spesial dalam hidupnya. Semuanya sama, fake. Itulah sebabnya ia tidak masalah ponselnya rusak.

Chalya memungut lagi benda itu dengan napas memburu. Ia mendudukkan bokongnya di kursi. Hatinya tidak sekokoh semen tiga roda atau sekuat berbagai merk cat tembok di pasaran. Ia benar-benar hanyalah sosok gadis lemah yang hanya bisa mengumpat dan marah.

Ya, Chalya marah melihat pemandangan dua orang itu. Krisna bahkan tidak mengikutinya setelah ia berlari tadi. Nova pun diam saja, seolah memang apa yang ia pikirkan benar adanya. Hal itu menandakan dua orang itu benar berselingkuh di belakangnya.

Chalya tidak habis pikir, Krisna yang begitu ia cintai dan Nova yang sudah ia anggap adik kandung sendiri. Mereka justru tega menganggapnya tidak ada.

"Hiks ...."

Akhirnya, air mata yang sedari tadi Chalya tahan, jatuh juga. Hatinya begitu sakit, melebihi saat ia tahu orang tuanya tidak pernah merayakan ulang tahunnya atau bahkan tidak datang di hari kelulusannya dari SD dan SMP.

Ia menunduk dalam, membiarkan air mata membasahi sepatu converse warna putih yang ia kenakan. Tangannya memegang erat kursi taman, berpegangan supaya dirinya tidak terjatuh ke rerumputan.

Hingga lima menit berlalu, hanya angin dan suara bising siswa-siswi yang terdengar samar. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Krisna atau Nova yang akan menjelaskan kejadian sesungguhnya.

Ketika ia menegakkan tubuh dan bersandar pada punggung kursi, sebotol air mineral tersodor di hadapannya. Ia melihat tanpa minat, tanpa mau menoleh ke atas—siapa pemberinya. Air matanya meluruh seiring ia memerhatikan retak pada layar ponselnya.

"Kamu pasti haus."

Namun, satu kalimat itu mampu membuat Chalya dengan refleks menoleh. Keanehan yang tidak pernah ia temukan sebelumnya. Seorang Aldee yang dahulu selalu berkata dengan gagap, kali ini kalimat itu mulus tanpa gagapan.

Laki-laki itu tersenyum takut-takut, tangan sebelahnya membenarkan kacamata.

Chalya hanya menggeser duduknya. Hal itu menandakan tidak masalah apabila laki-laki itu ikut duduk di sebelah. Air mineral masih belum diambil juga olehnya.

"Jangan se-dih, a-ada a-ku."

Chalya mengusap air matanya. "Tadi enggak gagap. Kenapa gitu lagi?" tanyanya tanpa ada niat.

Setengah tersentak, Aldee menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Pertanyaan Chalya memang tidak penting, terkesan seperti basa-basi saja, tetapi cukup membuatnya berdebar. Gadis itu sedang sedih, tetapi sangat memerhatikan sekitar.

"Lo dari kelas?"

Aldee mengangguk. Pertanyaan Chalya itu hanya terlontar, tanpa gadis itu menatap lawan bicaranya.

"Lewat mana? Depan ruang BK? Lo lihat Krisna masih di sana? Sama Nova?"

"E ... aku enggak li-hat mereka. Ka-kamu jangan mudah per-caya sa-sama mereka."

"Lo tau sesuatu?"

Aldee menggeleng cepat. "Eng-enggak."

Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara gesekan dedaunan yang beberapa terjatuh karena angin.

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang