Empty

196 12 0
                                    

Gadis itu masih menunggu seseorang di depan gerbang sekolah. Ia duduk di kursi satpam sembari menggenggam erat tangannya yang dingin. Setiap yang berlalu-lalang, selalu ia perhatikan apakah orang itu benar yang ia tunggu atau bukan.

Namun, sepertinya sampai nanti pun akan masih seperti itu. Tidak akan penantiannya berakhir.

"Kak!"

Seruan itu membuat Chalya sedikit terkejut, menoleh dan mendapati seorang adik kelas tanpa seragam. Ia baru sadar ternyata yang memanggil adalah Shalwa, adiknya sendiri. Gadis kecil itu turun dari mobil dan langsung menghampirinya.

"Lo ngapain ke sini? Bukannya ini hari libur?"

"Hari ini Shalwa mau liat Kakak naik panggung sambil memakai baju toga," jawab Shalwa dengan mata berbinar-binar.

Iya, hari ini adalah hari kelulusan Chalya dari sekolah dasar. Ia rela menunggu di depan gerbang karena ingin menyambut kedatangan orang tuanya.

"Enggak usah, pulang aja!"

"Masa Shalwa jauh-jauh ke sekolah, harus balik lagi, sih? Males, ah!"

"Mama sama Papa mana?"

Shalwa mengangkat bahunya sebentar, berusaha tidak peduli pada kakaknya yang keras kepala itu.

Lalu, muncullah seorang wanita cukup tua yang memakai baju rapi dan rambut disanggul ke atas. Wanita itu menghampiri mereka.

"Chalya, Shalwa, sudah mau mulai, kok, masih di sini? Ayo, masuk, nanti acaranya keburu diawali," ucap wanita itu sembari menggiring dua cucunya untuk memasuki gedung sekolah.

Shalwa sudah beranjak, tetapi kembali duduk karena kakaknya tak kunjung berdiri. Bahkan, malah mengabaikan keberadaan omanya.

"Ayo, Chalya, kamu nanti naik ke panggung, 'kan?" Oma mengelus pelan bahu Chalya, menyadarkannya segera.

Chalya menggeleng pelan. "Enggak mau. Chalya mau nungguin Mama sama Papa."

Seketika wanita berusia sekitar 55 tahun itu jadi tidak enak, merasa sangat canggung dengan cucunya sendiri. "Mereka akan segera datang, kok, ayo, masuk saja dulu."

"Enggak!" seru Chalya menaikkan nada suaranya.

Oma segera duduk di sampingnya dan mengelus-elus tangannya. "Sayang, ini, kan, hari bahagia kamu, harusnya kamu bahagia."

"Gimana mau bahagia kalau orang tua Chalya, bahkan enggak peduli sama anaknya sendiri?! Chalya enggak pernah dipeduliin Mama sama Papa, Oma! Chalya aja kalau minta ketemu, mereka pasti punya alasan terus, padahal Chalya sayang banget sama mereka! Lalu, apa? Mereka enggak sayang balik ke Chalya!" seru Chalya. Air matanya semakin merebak dan turun perlahan di pipi. Gadis itu sungguh sakit hatinya.

Oma segera merengkuh tubuh cucunya itu dan memeluknya erat. Hatinya teriris kala mendengar perkataan frustrasi itu.

"Hiks, Mama enggak pernah tau kapan Chalya ulang tahun. Oma selalu bilang mereka pasti akan segera datang, tapi sampai sekarang mereka enggak datang juga! Chalya udah enggak kuat, Oma! Enggak ada artinya apa-apa kebahagiaan Chalya tanpa mereka!"

"Hiks ...."

Chalya terduduk di atas kasur yang berada di kamar tamu. Ia memeluk lututnya erat. Pedih menggerogoti hati kala kenangan masa SMP-nya itu kembali. Jika boleh memilih, Chalya sungguh ingin mengakhiri hidupnya saja daripada tersiksa tanpa kasih sayang seperti ini.

Kini, tidak ada yang menemaninya dalam hening malam. Ia pulang dalam keadaan tidak sadar diantar Aldee. Di rumah tidak ada orang sama sekali. Shalwa pun sedang tidak ingin pulang sementara Oma di rumah saudaranya.

Rumah besar itu terasa kosong.

***

Malam itu berakhir sampai situ saja. Aldee pulang langsung masuk ke kamar. Ia berjalan menunduk, membersihkan diri, lalu berbaring. Mamanya tak bertanya banyak. Karena semua pertanyaan itu akan dilontarkan pagi harinya.

Saat sesaknya kambuh di pagi hari yang dingin, ia dibawa ke rumah sakit. Semua orang menghakiminya, Mama, Papa, Oma, dan seluruh keluarga besar itu. Aldee hanya bisa diam dan menunduk. Percuma menjelaskan, tak ada yang mendengarkan.

"Dari mana saja semalam? Kenapa bau kamu alkohol? Kamu mabuk? Kelahi juga, 'kan? Siapa yang ngajarin?!" Papa, orang pertama yang melontarkan pertanyaan beruntun itu dengan sedikit bentakan.

Tubuh lemas Aldee diam saja terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit.

"Anak enggak tau diuntung! Udah dibesarin juga malah melunjak!"

Oma mengipas-ngipas lehernya, napasnya naik turun. Ia tidak habis pikir, bagaimana anak yang selama ini pendiam dan selalu ia sayangi itu ternyata seperti ini.

"Sejak kapan kamu begitu? Tidakkah ada belas kasihan pada seluruh keluarga yang harus repot karena kamu?!"

Aldee menatap Mama yang belum melontarkan pertanyaan atau kalimat satu pun. Manik matanya melengos. Aldee merasa bersalah, tetapi ia seakan tak bisa berkata, hanya napasnya yang menjawab.

"Hik ... hik!" Sesak itu kembali hadir dalam diamnya Aldee.

"Aldee, jujur sama Mama, dari mana kamu semalam?"

"Hik, maafkan Aldee, Ma."

Mama menahan air matanya agar tak luruh di hadapan banyak orang. Ia malu, menjadi menantu ketiga, yang tak disukai Oma juga. Merasa salah mendidik anak.

"Rumi, mending kamu hukum aja anakmu itu! Ditanya baik-baik malah minta maaf. Udah dikasih uang jajan banyak sama sepeda, masih aja melunjak. Jadi, selama ini yang dilakuin di luar benar-benar tanpa didikan? Padahal Oma jaga dan rawat dari kecil, tapi ternyata gagal." Oma terus mengipas-ngipas lehernya. Ia duduk di sofa ruang rawat itu tanpa menatap Aldee.

"Kemarin sore juga bohong pasti. Dia pulang sore katanya belajar. Kelihatan bohongnya," lanjut Oma.

Aldee semakin menunduk, ia merasa dirinya buruk dan pencipta masalah. Andai ia tidak dekat-dekat dengan Chalya, mungkin ia tidak akan mendapat masalah.

Namun nyatanya, ia senang berada di dekat Chalya, gadis yang ia sukai.

*****

30-6-20.

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang