Pembunuh

452 14 5
                                    

Ketika cinta bertakhta, jangankan logika, hati saja tak dapat menyeka datangnya.

***

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."

Suara operator menjawab sudah tiga kali terdengar. Namun, yang memanggil tak mudah menyerah. Ia terus memencet semua nomor yang pernah ia punya milik Grita, sahabatnya.

Iya, Chalya mencoba menghubungi sahabatnya yang tersisa. Barangkali selama ini Chalya melupakan gadis itu. Ia masih ingin mempunyai teman atau sahabat. Ia berharap semoga Grita masih sudi.

Letak kelas yang berbeda membuat mereka kesusahan untuk bertemu lagi. Ia juga tak melihat gadis itu sedari pagi. Saat ini, Chalya berdiri di gazebo yang biasanya berisi empat orang bersahabat itu.

"Manggil siapa, sih? Enggak punya kuota? Nih, pake HP gue."

Seorang gadis menyerahkan ponselnya pada Chalya. Ia terkejut saat yang menyodorkan ponsel adalah Ira, mantan sahabatnya. Dengan senyuman paling menjijikkan yang pernah Chalya lihat, gadis itu datang.

"Gue juga peduli, kok, sama lo. Turut berduka, ya, atas kecelakaannya Aldee. Pacar lo, 'kan?"

Chalya melirik Ira tak suka. Tangannya masih setia memegang ponsel yang mencoba terhubung dengan panggilan WhatsApp.

"Udahlah, sans aja. Gue juga tahu lo lagi nyari sahabat yang tersisa. Siapa lagi kalau bukan si pengkhianat pertama."

Chalya mengerutkan keningnya. Ingin rasanya ia menjambak rambut mantan sahabatnya itu, tetapi terlalu malas berhubungan dengan ruang BK lagi.

Ira ikut berdiri di samping Chalya. Kali ini gazebo itu terasa tak sejuk seperti biasanya. Percikan api dari Ira cukup membuat hati Chalya panas. Apalagi saat gadis tak tahu diri itu terus menatap Chalya bengis, seakan ingin terus menyulut emosi.

"Lo bisa diem? Dateng-dateng nyerocos aja. Kayak keran hidup lo."

"Lo enggak tahu, 'kan, kalau selama ini sikap kita ke lo cuma boongan? Iya, Grita sahabat lo itu yang bikin gosip tentang lo tersebar luas. Followers dia hampir mirip kayak Nova, juga miriplah sama punya lo. Artinya, ketika dia promosi atau viralin sesuatu, cepet banget kesebarnya. Lo tau? Pertama lo bilang jangan sekongkol itu, sebenernya kita udah ngerencanain semuanya dari jauh hari."

Gadis itu melongo. Tidak-tidak, ini jauh lebih sulit dipahami. Grita adalah orang baik, sama seperti Chalya. Mereka mempunyai jalan pikiran sama, jarang menentang apabila tidak sangat berat.

Mendengkus, Chalya menyedekapkan tangan di dada. "Enggak usah sok pengaruhi pikiran gue. Grita cewek baik, enggak kayak lo yang penusuk!"

"Lo ngatain gue penusuk terus enggak capek apa? Gue dengernya risi, berapa kali, sih?"

"Gue nyesel kenal lo sama Nova!" Chalya mendengkus. "Bentar lagi juga pasti kena karma."

Ira menatap jengah Chalya. "Gitu aja terus, Chal."

"Enggak usah sok kenal. Kita udah bukan sahabat."

"Sejak kapan?"

Chalya menyingkir dari Ira. Ia tak lagi mau berurusan dengan para pengkhianat. Semuanya akan menjadi pelajaran hidup. Atau mungkin setelah ini Chalya tidak akan sembarang berkenalan dengan seseorang.

Langkahnya sampai di koridor depan gazebo. Ia berhenti ketika melihat Grita dari kejauhan berjalan ke arahnya. Jujur, ia sedikit lega.

"Hai, Chal. Nyari gue, ya?"

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang