Sesal

680 20 1
                                    

"Jangan biarkan dia datang! Dia enggak sebaik yang kita katakan waktu itu."

Suara omanya Aldee terdengar lagi. Jujur, Chalya merasa bersalah. Akan tetapi, ia menyangkal, dirinya tak mungkin menjadi penyebab Aldee direnggut kendaraan itu. Tidak, ia hanya mengejar laki-laki itu.

"Tapi, Oma ...."

Seorang perempuan muda atau yang biasa disebut Aldee sebagai Kak Saras itu, masih mengusahakan agar Chalya ikut melihat laki-laki cowok itu meski dari jendela pintu.

"Saras, kalau kamu masih menginginkan anak enggak tau diri itu ke sini, PERGI DARI SINI!" seru wanita tua itu dengan mata merah dan bibir bergetar. "Kamu tau sendiri bagaimana kondisi keponakanmu, si Aldee yang dititipkan agar kamu jaga! Tapi, apa? Kamu membiarkan Aldee pergi dan tertabrak mobil? Sekarang kamu menginginkan pembunuh ini masuk juga?!"

Jantung Chalya tertohok. Ia-lah yang disebut sebagai pembunuh, jelas saja. Semua yang menunggu kabar dari dokter di depan ruang UGD itu menatap Chalya menghakimi.

"SAYA BUKAN PEMBUNUH!" seru Chalya pada akhirnya. Bibirnya bergetar hebat, air mata belum kering di pipi, tetapi pelupuk matanya sudah terasa berat lagi.

"Lalu, apa? Kau sebut apa dirimu yang bikin cucu saya kecelakaan? Hah?! Pembawa sial? Iya?!"

Chalya menunduk, tubuhnya ia biarkan didesak orang-orang karena posisinya menghalangi jalan. Ia berdiri di tengah lorong rumah sakit yang cukup ramai.

Wanita tua dengan label oma Aldee itu mengatur napas dengan duduk di kursi tunggu. Cucu yang paling ia sayang dan banggakan, harus berakhir seperti ini.

Chalya menghela napas, kembali mengingat-ingat kejadian tadi. Ia ingat saat darah bersimbah di aspal, merah semakin pekat. Aldee terlihat kesakitan, ekspresinya sungguh pilu. Laki-laki itu sempat menatapnya sendu tadi. Chalya juga sempat melihat setitik air mata di samping kelopak mata Aldee.

Bertambah pilu saat Chalya teringat bagaimana ekspresi kesakitan laki-laki itu terhantam keras badan mobil. Sehingga tubuhnya terbanting di jalanan dan ia tak sempat memekik.

Ingatan itu seperti berada di pelupuk mata. Yang sekali kedip langsung terlihat. Chalya melihat tangannya yang sempat terbasuh darah segar milik Aldee tadi, rasanya seperti tidak ada ampunan baginya lagi. Ia yang menyebabkan Aldee kecelakaan!

Mundur perlahan, Chalya segera berbalik, lalu lari menuju toilet umum. Ia membasuh tangannya di wastafel. Menggunakan sabun berkali-kali, tetapi masih terasa belum bersih. Apakah benar dirinya yang membunuh Aldee?

Tangannya yang terkena darah memang sudah bersih, bau anyir sudah terganti dengan wanginya sabun. Namun, seakan tangan itu tidak akan bisa bersih hanya dengan dibasuh. Ia berjanji, setelah Aldee bangun, ia akan minta maaf dan pergi dari kehidupan laki-laki itu.

Akhirnya, Chalya keluar dari rumah sakit. Ia duduk di taman depan dengan tatapan kosong. Tiba-tiba tak ada yang dipikirkannya, juga tak ada yang ia ingat. Semuanya terasa hampa. Dirinya seakan tak bernyawa.

Hingga sebuah bayangan anak laki-laki di atas kursi roda berada di pelupuk matanya. Anak itu ingin turun dari kursi roda, tetapi sandalnya terjatuh. Seorang anak perempuan menghampirinya, memberikan benda yang dicarinya.

Ingatan itu kembali. Percakapan dan tatapannya terasa nyata di depan mata. Chalya seolah terbuai dengan bayangan itu.

Bayangan itu seperti masih berlanjut hingga akhirnya berganti situasi. Baju anak perempuan itu ganti. Ia memberikan setangkai bunga yang dipetik di taman rumah sakit.

"Kamu enggak suka sama aku, ya?" Gadis itu memberengut, sedih saat Aldee belum juga menjawab pertanyaannya. "Enggak apa-apa, deh, enggak mau jawab. Nih, bunga buat kamu biar cepat sembuh. Nanti kita main sama-sama, ya, kalau kamu udah sembuh." Senyumnya merekah, tetapi anak laki-laki itu masih diam saja. Tak balas tersenyum atau menerima bunga. Hingga anak perempuan itu memberikannya paksa. "Nih. Dijaga baik-baik supaya bisa cepat sembuh."

"Kak Chalya!" seru Shalwa dari kejauhan.

Kesadaran gadis itu kembali, tetapi seperti orang linglung yang baru bangun tidur. Adiknya berlari menghampiri. Segera ia peluk erat dan memejamkan mata bengkaknya.

"Kak? Kak Aldee itu ... cowok lo?"

Chalya diam, mengurai pelukannya. Meski air mata kembali turun, gadis itu tak mencoba menyeka. Shalwa diam, entah mengapa.

"Gue tau dari temen lo. Siapa itu, Kak Ira, ya? Yang biasanya sama-sama berempat."

Chalya mengangguk.

"Dia lagi teleponan sama temennya di dekat SMP. Katanya, Kak Chalya u-udah—"

"Iya. Shal, gue jahat banget. Gue yang bikin Aldee kayak gini. Hiks."

Gadis yang diajak bicara mengusap bahu kakaknya. Ia memang masih kelas sembilan, tetapi perasaannya dengan Chalya sama. Sama-sama rapuh dan bisa merasakan perasaan satu sama lain. Mereka saudara sekaligus sahabat sejak kecil.

"Ih, Kakak jangan gitu. Enggak mungkinlah."

"Emang bener, kok. Gue yang bikin Aldee kecelakaan. Gue yang bikin Aldee menahan sakitnya saat kata-kata gue terlontar. Gue yang bikin dia sakit karena mendam rasa sendirian tanpa gue balas. Gue juga yang menciptakan lubang di hatinya karena perdebatan gue sama Krisna tadi. Tanpa tahu kalau sebenarnya malah gue yang tersakiti. Gue yang mendapat luka itu. Hukum karma masih berlaku, Shal. Gue juga dapetin itu."

Shalwa menyimak, mengusap setiap air mata yang turun di pipi kakaknya. Ia masih percaya kakaknya tak mungkin sejahat itu.

"Gue emang jahat, Shal. Andai gue enggak kejar dia tadi, andai gue enggak noleh saat dia dateng. Atau andai gue enggak ucapin hal buruk itu. Atau bahkan ... andai gue enggak pernah ada di muka bumi ini. Enggak ada yang harapin gue lahir, Shal. Mama, Papa, temen-temen gue, sahabat gue, bahkan Krisna pun enggak lagi butuhin gue. Gue enggak guna!"

"KAK!" tegur Shalwa agar kakaknya menghentikan ocehan itu.

Chalya menangis sesenggukan di bahu adiknya. Ia genggam erat baju yang dikenakan Shalwa sampai kusut, tak ingin kehilangan seseorang lagi.

Shalwa mengelus punggung kakaknya. Ia takut apabila terjadi sesuatu karena kakaknya terlalu banyak berpikir dan menangis. Kejadian hari ini cukup panjang, jangan ditambah panjang lagi.

"Udah, Kak, semuanya udah ada yang ngatur, kok. Kita tunggu aja apa kata dokter tentang Kak Aldee. Dia pasti selamat, kok. Dulu, kan, lo selalu ngasih semangat buat dia. Masa sekarang lo yang enggak lagi bersemangat?"

Chalya mengurai pelukannya. "Iya, gue yang kasih semangat ke dia, gue juga yang hancurin semangat hidupnya."

*****

10-7-20.

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang