Someone Go and Back

169 11 0
                                    

Datang untuk pergi. Datang lagi, untuk menyakiti. Sebercanda itukah arti cinta?

***

"Akhirnya, sore ini kami bisa menemuimu lagi, Sayang."

Chalya mendengkus, melirik sekilas adiknya yang sepertinya juga hendak melintasi ruang televisi. Di sana hanya ada empat orang tanpa Oma—mungkin Oma sedang di rumah tetangga. Sepasang suami istri yang teramat jarang di rumah itu, kini menampakkan wajahnya.

"Chalya, Shalwa, kami akan membahas sesuatu. Kalian duduk dulu, yuk." Papa menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Ia mengecilkan volume televisi.

Setelah berhenti beberapa saat dan melirik kanan kiri, Chalya kembali berjalan. Sehingga hal itu jelas saja membuat mamanya marah.

"CHALYA!"

Jujur, Chalya bukanlah tipe gadis penurut yang takut terhadap orang tuanya. Namun, sebaliknya, Chalya akan selalu teriak-teriak dan tidak bisa santai. Bahkan, saat ini saja ia ingin meneriaki orang tuanya, menyindir pedas dengan suara keras.

Ia tahu bahwa sikapnya yang barbar adalah warisan dari mamanya. Apabila ia menyulut emosi salah satunya, seluruh rumah ini akan terbakar emosi. 

Berdecak, Shalwa duduk di kursi yang ditepuk-tepuk papanya tadi. Akhirnya, Chalya mengikuti.

Setelah duduk anteng dengan Chalya yang terus bermain ponsel, Zainal, sang papa, menyampaikan sesuatu yang selama ini masih terpendam.

"Kalian sudah besar. Shalwa bentar lagi masuk SMA, Chalya sebagai kakak kelas." Pria itu menatap dua anak gadisnya yang memakai seragam berbeda. Sebentar lagi akan sama.

"Papa kira kalian menjaga diri sendiri didampingi Oma selama kami tidak di rumah. Lagian, Oma, kan, semakin tua, kalian jangan sampai semakin nakal. Turuti setiap tuturan dan nasihatnya."

Chalya bosan dan kesal, memutuskan bermain ponsel saja. Orang yang ia rindukan malah membahas hal lain. Padahal, berapa tahun mereka tidak jumpa? Apakah tidak ingat dengan kata rindu?

"Papa rasa emang kalian enggak begitu suka dengan peraturan. Mungkin kalian bosan dengan suasana rumah, atau bahkan teriakan Oma. Kalian juga pengen jalan-jalan, 'kan? Ke luar bersama kami contohnya?"

Chalya masih diam, tetap fokus pada ponsel, ya, meskipun sesekali dengar percakapan itu. Sedangkan Shalwa duduk bersedekap tangan dan tatapan lurus ke televisi. Wajahnya datar, tidak berminat dengan omong kosong orang tuanya.

"Selain itu juga, perusahaan Papa harus segera ada pewarisnya. Maka dari itu—"

Ucapan Zainal terpotong karena suara tawa Chalya. Gadis itu terkikik dengan ponselnya, yang berarti tidak menyimak pembicaraan.

"CHALYA! Kamu dengar yang dikatakan papamu, 'kan?" Mama menegur tingkah anak sulungnya yang malah dengan seenak hati menopang kaki.

Gadis itu meletakkan sebentar ponselnya sembari menatap sang mama.

"Iya, telinga Chalya masih sehat, kok. Jadi? Intinya aja kenapa, sih? Enggak usah bertele-tele, kelamaan."

"Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Kenapa seolah ngusir dan enggak suka banget kami di sini? Sadar, Chalya!"

Wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu berdiri, menatap garang anak sulungnya. Anissa namanya, yang menurunkan sifat pemarah dan mudah kesal kepada Chalya. Berbeda dengan Shalwa yang meskipun juga pemarah, masih bisa menahan diri.

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang