Not the Ending

214 8 2
                                    

Prosesi pemakaman dilakukan di rumah Aldee. Banyak orang berdatangan terutama para guru dan kerabat jauh. Beberapa teman sekelas juga berkunjung.

Rumi belum sadar. Sejak jenazah diturunkan dari ambulans, wanita itu masih meraung, lalu pingsan. Ia menangis sampai berhalu ketika teringat. Beberapa saat setelah ditenangkan oleh tetangga, ia akan diam. Anak semata wayangnya pergi lebih dulu darinya.

Sungguh, tidak ada seorang ibu yang bisa mengikhlaskan anaknya pergi. Tak hanya Rumi, oma juga menangis. Dia sampai terus-menerus menyebut nama Aldee.

Kini, rumah besar dengan kehangatan setiap hari itu berubah. Rasanya seperti tak akan kembali seperti semula. Salah satu pergi lebih dahulu, meninggalkan kenangan, tak akan kembali.

Saras pun sama. Ia menangis keras setiap bayangan hadir di hadapannya. Tentang Aldee yang lebih dekat dengannya, juga tentang Aldee yang terkadang ia marahi. Cowok itu juga selalu menurut apabila disuruh ini itu. Terlalu banyak kenangan mereka, tak mudah untuk dilupakan begitu saja.

"Aldee mana? Aldee-ku? Dia di mana? Dia di manaaaa?"

Kembali, Rumi siuman, tetapi tangisannya semakin keras. Ia menanyai setiap orang di sekitarnya.

Oma juga demikian. Ia melamun, sebelum akhirnya kembali menangis kencang ketika teringat.

Chalya merasa sakit hanya dengan melihat semuanya di depan mata. Tubuhnya bergetar hebat. Ini salahnya. Iya, ia yang menyebabkan Aldee pergi. Ia pantas disebut pembunuh.

"Andai Aldee masih ada ...." Oma kembali melamun, membayangkan Aldee di sana. Beberapa kali ekspresinya berubah. Mulai dari diam, tersenyum, lalu kembali menangis.

"Sudah, ya, Oma, sudah."

"ENGGAK! ALDEE BELUM PERGI!"

Chalya masih berdiri di ambang pintu rumah itu. Jenazah Aldee baru sampai beberapa saat lalu. Saat ini orang-orang bersiap memandikannya. Chalya masih menatap mereka dengan air mata mengalir deras dan bibir bergetar.

Tak sepantasnya ia berdiri di rumah besar ini, ia adalah pembunuh.

"Itu!"

Gadis itu tersadar saat Rumi menunjuknya. Ia menunjuk dirinya sendiri, memastikan apakah yang dipanggil adalah dirinya? Namun, wanita itu masih menunjuk-nunjuknya.

"Itu! ITU ALDEE! AKU MAU IKUT DIA!"

Tubuh Rumi beranjak, tetapi ditahan beberapa orang. Mereka menyangka Rumi mengalami halusinasi karena belum rela ditinggal pergi anaknya. Wanita itu terus mencoba menggapai bayangan di matanya.

"Sadar, Rumi, Aldee sudah enggak ada. Jangan biarkan imajinasi menguasai dirimu!"

"Tapi, aku ingin bersama Aldee."

Chalya terduduk, bersimpuh di ambang pintu. Air matanya tak berhenti mengalir.

"PEMBUNUH!"

Entah tenaga dari mana, tiba-tiba oma datang dan menyerbunya. Ia menjambak rambut Chalya yang terkuncir. Sakit memang, tetapi tak seberapa, karena menurutnya itu pantas ia dapatkan.

"PERGI KAMU, PEMBUNUH! KAMU BIKIN CUCU SAYA MENINGGAL! KAMU BIKIN SEMUA ORANG KEHILANGAN! PERGI, DASAR, PEMBUNUH!!!"

Rambut Chalya teracak. Ia menerima saja perlakuan itu tanpa mengelak. Meski beberapa orang memisah, meredakan emosi oma, Chalya masih tetap diam dengan wajah basah. Ia tak tahu harus berbuat apa, dirinya terlalu rapuh saat ini. Entah wajahnya ditaruh di mana, tetapi semuanya ia lalui begitu saja.

Oma telah dibawa pergi oleh tetangga, Chalya masih diam di tempat. Bibirnya bergetar, air matanya masih meluruh.

Jujur, Chalya tak sanggup. Terlebih saat sebuah kenangan bersama cowok itu muncul di ingatan. Cowok itu yang memboncengnya dengan sepeda dan mereka berputar-putar di taman.

Chalya berdiri, sekuat tenaga akan menyingkir dari rumah ini.

Namun, ....

Bertepatan saat ia melewati pelataran depan, orang-orang berkumpul. Prosesi memandikan jenazah sedang dilaksanakan.

Seketika dunia Chalya seperti berputar, membawanya berada di titik terendah. Ia sempat melihatnya! Tubuh Aldee dibasuh air untuk terakhir kalinya. Wajahnya masih terlihat bersih, sama seperti yang ia lihat terakhir kali di jalanan.

"Ma-maafkan aku, Cha-Chalya."

Chalya mendongak. Suara itu tak asing. Bukan, ia tidak sedang berhalusinasi. Gadis itu memutar mencari keberadaan suara itu. Kakinya melangkah menjauh dari rumah. Ia dibawa suara itu ke tempat yang entah ada siapa di sana.

Jika bisa, Chalya ingin menghukum dirinya sendiri. Tubuh yang pernah ia sakiti itu tak bernyawa lagi. Wajah yang pernah ia ejek itu tak akan ia lihat lagi. Lalu, senyum yang selalu diberikan Aldee untuknya itu ... tak akan pernah kembali lagi.

Jalanan luar sungguh ramai, sehingga yang dilakukan Chalya yaitu duduk di pinggir jalan setelah lelah berjalan keluar dari pelataran rumah besar itu. Ia menyesali semuanya. Seperti yang dikatakan banyak orang, ia sungguh menyesal.

Tubuh itu tak akan ia temukan lagi, tak akan ia lihat lagi, dan tak akan ia ajak bicara lagi.

"Andai waktu bisa diputar, mungkin aku tak akan menyesal. Atau mungkin aku memilih tak akan mengenalmu.

"Rasa ini sungguh menyiksa, asal kamu tahu. Namun, Tuhan telah menggariskannya. Seberapa pun usahaku untuk menebus kesalahan ini, tak akan berbuah hasil. Tuhan mengambilmu! Hanya kenangan itu yang masih melekat dalam diriku, dalam memoriku. Kenangan pilu yang hanya akan kurasakan sendiri, sebuah rasa bersalah akan kepergianmu. Semuanya berjalan begitu mulus, hingga penyesalan tertata rapi berada di belakang.

"Maaf-maaf-maaf. Maafkan kebodohanku, maafkan kejahatanku, aku menyesal. Sungguh."

*****

Caraphernelia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang