Departure

56 11 0
                                    

Song - Dream (Paul kim)

"Jangan menunggu"

🍭

Arissa mematikan kompor. Mengambil dua buah biring lalu kemudian di isi dengan nasi. Dirasa semua sudah tertata rapi di atas meja makan, tungkai nya berjalan menuju arah kamar. "Mas, makan dulu. Sayur nya udah mateng, biar aku aja yang beresin baju nya"

Doyoung yang sedang berkutat dengan lemari pakaian, tersenyum lebar. "Makasih rissa, biar mas aja, tanggung sebentar lagi selesai kok"

Berdecak dan mengambil alih pakaian yang menggantung di tangan, arissa menatap doyoung lurus. "Keburu makanan nya dingin nanti mas, biar aku aja yang nerusin"

Menghela nafas pelan lelaki itu lakukan, sembari berjalan mendekat tangannya ia selipkan di antara jemari arissa "Dari pada kita debat terus, mending makan bareng aja. Masalah pakaian nanti kita urusin lagi" finalnya.

"Mas doyoung jangan lupa makan disana" suara arissa memecah keheningan. Tanpa menatap lawan bicara gadis itu tetap melanjutkan pembicaraan. "Jangan lupa sholat juga, dan Jangan lupa—"

"Rissa..."

"—Untuk pulang"

Doyoung menatap arissa lekat. Sesi makan siang baru saja selesai. Keduanya sedang terduduk diam di ruangan depan tv, kediaman milik doyoung. Dengan tautan tangan yang masih belum terlepas lelaki itu mengubah arah duduk nya untuk lebih menyerong.

Dua bulan sudah berlalu. Meninggalkan kenangan pasca lebaran dan peristiwa mendadak—yaitu bertemu dengan Sinta. Wanita paruh baya itu tidak lagi menampakkan batang hidung nya. Terakhir tadi pagi ia mengirim pesan kepada sang putra untuk berhati-hati selama bertugas. Entah ia mendapatkan informasi dari mana bahwa doyoung akan pergi sore nanti.

Sehari sebelum lebaran, bagaskara datang ke barak milik sang putra. Sendiri tanpa di temani, ia menatap doyoung dengan tatapan bangga. "Ridho ketemu bunda?"

Sontak doyoung mengangkat kepala, menatap sang ayah dengan tatapan bertanya. "Dari mana ayah tau? Dan juga dia... bukan ibu ku"

Senyum masih terpatri di wajah bagas. Menepuk pundak sang anak dengan pelan "Ridho, dia tetap ibu mu nak. Sebejat atau seburuk apapun perlakuan nya dulu, dia tetap yang melahirkan kamu. Sakit hati dan kecewa itu juga wajar, ayah, senja dan kamu juga merasakan hal yang sama.

Buka pintu hati kamu untuk memaafkan sinta, ridho. Bunda kamu berhak mendapatkan itu. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan ayah harap kamu mau melakukannya" Tangis doyoung kembali pecah, dan tanpa suara ia terisak di depan bagas. Lagi yang hanya di lakukan bagas adalah menepuk serta memeluk sang putra dengan bangga.

"Ada apa ayah kesini?" Suara doyoung kembali menguar, sesi tangisan sudah berhenti. Ia menatap sang ayah yang berada tepat di samping nya. "Ibu kok nggak ikut?"

"Ibu mu lagi repot, dan ayah kesini Cuma mau ngasih tau. Untuk beberapa waktu kedepan bakal ada pengiriman anggota secara besar-besaran."

"Maksudnya?"

"Kamu tau daerah Lebanon yang sedang rawan disana?" Sontak doyoung mengangguk ragu. Bagas kembali melanjutkan percakapan. "Konflik di bagian sana kembali mencuat, yang mengharuskan para tentara di berbagai belahan dunia ikut berpartisipasi dan batalyon kita sebagai garda utama nya"

"Dan diantara semua prajurit yang ikut, ridho termasuk di dalam nya" Doyoung memastikan maksud dari sang ayah. Dan yang didapat adalah anggukan dari bagas.

"Berapa lama?"

"Tidak lama, hanya dua ratus hari"

Doyoung merengkuh arissa di depan nya. Wanita itu sedang menangis tanpa suara. Tidak biasanya. Entah sedang dalam pengaruh masa periode, arissa lebih sensitive belakangan ini. "Mas doyoung jangan cari cewek lain disana!" Terus saja meracau seperti itu. Membuat doyoung terkekeh pelan.

Keduanya sedang berada di lapangan bandara. Tanpa sadar sore cepat sekali datang. Ramai pengunjung untuk mengantar kan orang terkasih pergi mengemban tugas, bahkan salwa dan mbak zoya ikut mengantarkan pasangan masing-masing.

Di ujung sana ada salwa yang sedang memeluk Jeffrey, sang tunangan. Ada yuta yang sedang memeluk sang istri sembari memegang perut buncitnya. Ada zoya juga yang tak lepas untuk mengingatkan sholat kepada sang suami.

Arissa tak menghiraukan nya. Ayah nya dan bagas—calon mertua mengapa jahat sekali sih? Mengirim para prajurit di daerah yang sedang rawan konflik untuk waktu yang lama.

Pelukan doyoung renggangkan. Mengamit jari jemari arissa, menyelipkan sebuah benda berbentuk lingkaran di sana. Gadis itu masih menangis. Tak memperdulikan panggilan dari sang ibu, dan doyoung memahami itu.

"Jangan nangis sayang" ucapnya sembari meletakkan tatanan cincin emas disana. Seolah tuli, arissa kini bertambah histeris. Menangis tanpa suara memang sangat menyakitkan dada. "Kalo sempet mas kabarin ya dan... jangan menunggu"

Tangis itu terhenti saat arissa memandang doyoung dengan tatapan tajam. Apa maksudnya jangan menunggu?! "Mas doyoung harus tetep kembali!"

Lagi senyum serta suara berat milik doyoung menguar di sana. Sambil memeluk arissa kembali ia membisikkan sebuah kalimat. "Mas pasti kembali maka dari itu jangan menunggu"

🍭🍭🍭

Arissa menatap kakak ipar nya yang sedang melamun di kursi kemudi depan. Mobil yang dibawa dengan kecepatan sedang oleh arissa. Sang ibu dan ayah yang masih ada urusan di batalyon mengharuskan mereka berdua untuk pulang duluan.

Arissa tahu, sesedih-sedih dirinya masih sedihan lah zoya. Kakak iparnya yang kini sedang mengandung ponakan harus ditinggal pergi oleh sang suami. Hamil dua bulan—periode masa ngidam yang sangat ekstrem menurut arissa.

Zoya yang sedang terlelap dengan air mata yang terus bercucuran. Tangan lentiknya berada di atas perut. Iba. Keduanya merasakan kepedihan yang sama dengan porsi berbeda.

"Mbak mau aku buatin susu bumil?" suara arissa menyadarkan zoya dari lamunan panjang nya. Wanita itu tersenyum lembut sembari mengangguk. "Makasih sayang"

Sodoran susu hangat dimalam hari itu di terima zoya dengan baik. Meneguknya hingga tandas, arissa memandangi itu. "Kenapa liatin mbak segitu nya?" tanya zoya. Gelengan serta senyuman menjadi jawaban.

Keheningan melanda keduanya. Malam ini terasa berbeda bagi zoya, hembusan nafas terdengar. "Mbak..." mendengar panggilan, wanita itu menoleh.

"Selalu kuat ya, aku mama dan papa bakal selalu ada di samping mbak zoya. Kita berdua harus semangat. Dua ratus hari memang waktu yang sedikit lama, tapi sekali lagi... hasil nggak akan mengkhianati usaha kok"







Gimana tanggapan nya?

Mas doyoung lagi mengemban tugas nih!

Nasib jadi pasangan seorang pasukan memang begitu. Harus siap di tinggal kemana pun dan kapan pun.

Dan selamat untuk mbak zoya yang sedang hamil dua bulan🥰

See ya👋

Half Cold ; With Doyoung (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang