Tak perlu khawatir (Extra part)

82 10 2
                                    

Arissa memandang sebuah layar besar dihadapan mata dengan perasaan gusar sekaligus resah. Melihat berita lokal yang sedang dibawakan oleh pembawa acara mengenai demo dari para mahasiswa serta buruh yang meminta untuk membatalkan omnibus law di depan gedung DPR.

Arissa yang saat ini berulang kali menghirup napas kuat, merasa iba dengan para mahasiswa di berbagai kota yang ditembak gas air mata. Beberapa diantaranya bahkan sampai pingsan karena kekurangan oksigen.

Kadang dirinya tidak habis pikir, selama dua puluh empat tahun hidup di negeri Indonesia. Arissa tidak pernah merasakan kedamaian barang sehari saja. Selalu saja ada timbul masalah baru, entah itu keluarga, pertemanan, bahkan hingga politik sekalipun.

Memandang sebuah jam dan dua koper besar secara bergantian, ia meremas jari-jemarinya kuat. Bertepatan dengan bunyinya suara azan magrib serta pintu rumah yang terbuka lebar. Itu Doyoung.

Laki-laki yang menjabat sebagai suaminya selama seminggu terakhir ini sedang menampakkan senyum lebar. Melihat Doyoung yang memakai pakaian lengkap seperti biasanya, lagi-lagi membuat Arissa hampir kehilangan akal.

Perlu diingatkan tepat empat hari yang lalu, Doyoung yang mendapatkan promosi jabatan. Mengharuskan dirinya memboyong sang istri untuk pindah ke barak yang berada di depan.

Arissa secepat kilat bangkit, membiarkan sang pembawa berita berbicara sendirian. Menghampiri Doyoung sembari membawa segelas air hangat yang sudah di siapkannya.

"Minum dulu, Mas," titah Arissa lembut. Yang langsung di angguki oleh Doyoung. Laki-laki itu menegak habis air yang terisi di dalamnya.

Seperkian detik kemudian keningnya mengerut bingung, merasa heran dengan perubahan sikap serta raut wajah Arissa. "Udah siap-siap?" tanya Doyoung. Sedang Arissa mengangguk pelan, "Sudah."

"Kok mukanya begitu?"

"Mas...."

"Iya? Kenapa?"

"Apa kita batalin aja liburan ke Yogyakarta buat nengok mbahnya?"

Doyoung yang kadang kala tidak paham dengan perubahan sikap Arissa. Laki-laki itu membawa sang istri untuk duduk di depan TV. Sembari menggenggam tangan Arissa lembut, Doyoung kembali melempar pertanyaan.

"Kenapa harus dibatalin?" tanya Doyoung.

Arissa yang enggan menjawab. Wanita itu memandang TV dengan sorot mata khawatir. Mengerti dengan kode yang diberikan oleh Arissa, Doyoung mengangguk paham.

"Aku takut...."

"Kenapa harus takut? Kan ada aku," ujar Doyoung berusaha menenangkan. "Tenang aja, Rissa. Semuanya pasti baik-baik aja. Keadaan di jalan depan gedung pemerintahan juga udah kembali kondusif kok. Dan juga, rumah mbah yang ada di Yogya jauh banget dari pelantara kota. Pasti nggak ada yang bersikap anarkis di sana."

Berusaha melepas kegundahan hati, Arissa menarik napas panjang lalu membuangnya lewat mulut. Memberi senyum tipis untuk Doyoung dengan anggukkan pelan.

"Bagus, kalo gitu aku siap-siap dulu. Habis isya kita berangkat ke stasiun di anter bang Johnny," pamit Doyoung masuk ke dalam kamar setelah mengusak kepala Arissa.


Memandang sepanjang jalanan kota Bandung yang terlihat kacau membuat Arissa kembali memutar kilas balik saat di rumah tadi. Mendengar berita dari seorang pembawa acara di TV, yang entah kapan permasalahan politik ini akan selesai.

Mengingat Mark—adik sepupunya yang juga merupakan seorang Mahasiswa membuat Arissa membulatkan mata dan memanggil Johnny yang sedang menyetir di depan bersama Doyoung.

Half Cold ; With Doyoung (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang