Pagi itu Arissa terbangun dengan senyum lebar yang melekat di wajah. Menepis air mata yang keluar dari sudut sana 'tenang ini hanya mimpi', batinnya. Berjalan menuju cermin besar. Arissa meringis ngeri menatap pantulan diri yang persis mirip seperti zombie.
Saat netranya menatap sebuah kalung besar serta baret tergantung di dinding, senyum nya luntur. Bahkan air mata kembali memupuk disana. Semalam... benar mimpi kan? Bergerak cepat mencari keberadaan surat yang tergeletak bebas di atas kasur.
Lagi, tangis Arissa pecah. Mengundang tatapan iba serta kekhawatiran dari seluruh keluarga. Bahkan Jhonny sama sedihnya, memeluk Arissa yang tidak berhenti meracau. Arnan datang, mengelus pundak serta pucuk kepala sang putri. Berbicara sama seperti Bagas kemarin sore.
"Arissa... Ikhlasin, dia sudah pergi. Ingat pesan yang disampaikan Doyoung lewat surat itu kan? Kamu harus kuat, disana dia bakal menemukan tempat terbaik. Jangan sedih sayang"
Tak ada tanggapan serta hirauan. Arissa masih terus menangis dipelukan sang ayah. Mengapa tuhan gemar mengambil orang terkasih yang ia miliki?!
Saat pikirannya berkelana. Arissa merasa pernah melihat kejadian ini. Ah, di film korea yang pernah ia tonton dulu bersama Salwa rupanya. Descendats of the sun. Saat keberadaan surat yang telah sampai di tangan Dokter yang disinyalir sebagai kekasih Tentara itu.
Arissa merasa kehidupannya seperti drama. Semuanya persis sama. Yang membedakannya hanya saja Kapten di film itu tidak jadi mati. Bahkan hidup kembali. Happy ending intinya.
Tak berbeda dengan suasana di kediaman keluarga Bagas. Semuanya tampak murung, sang ibu yang memandang sarapan dengan tatapan kosong. Kepala keluarga yang berdiam diri di kamar, serta Senja yang menangis dalam diam.
Semuanya merasa kehilangan.
"Setelah bunda, bahkan mas Ridho tega ninggalin aku bu..." suara Senja bergetar. Menatap sendu sang ibu yang masih setia duduk di samping nya. "Kenapa semua tega ninggalin aku?"
Tidak menjawab Kinanti sama sedihnya. Putra sulung merangkap tiri tetapi sangat ia sayangi telah pergi. Yang sekarang tidak akan ada lagi omelan serta keluhan manja dari Doyoung.
"Ini semua salah ayah!"
Terperanjat. Senja serta Kinanti menoleh cepat. Menemukan keberadaan Bagas yang terduduk lemas di depan pintu. Sedang Jeno dengan Nara mengintip dari lantai atas. "Seharusnya aku nggak minta Ridho untuk pergi mengemban tugas ini. Benar Kinanti, ini semua salah aku... aku yang menyebabkan Ridho pergi"
Pecah sudah tangisan itu. Bagas kembali menangis, tidak cukup dengan kepergian mantan istri sekarang putra sulung nya. "Nggak ada yang salah disini, ayah" tutur Kinanti pelan. "Semua nya sudah berjalan sesuai takdir"
Ah benar, takdir. Yang tidak akan pernah bisa dirubah karna sudah tertulis rapi sebelum kita lahir. Menyesal setelah kepergian tidak ada gunanya. Bahkan menangis pun hanya melelahkan mata. Tetapi masih dilakukan mereka semua.
"Sekarang kita siap-siap untuk tahlilan nanti malam"
—
Mark berjalan dengan langkah pelan. Menatap punggung milik saudara sepupunya. "Mbak—"
"Leave me alone mark..." terpangkas, sebab Arissa memotong dengan suara parau.
"Tapi—"
"Please..."
"O-okey"
Menggeleng pelan menjadi jawaban Mark saat teman-teman Arissa bertanya. Haechan, Mina bahkan Mingyu menghela nafas pasrah. Bahkan Salwa yang sama diamnya saat mereka mampir menjenguk.
Ini sudah tujuh hari semenjak kepergian mendiang.
Arissa yang berubah menjadi pendiam. Bahkan enggan datang ke tahlilan milik kapten kesayangan. Dengan alasan yang masih sama saat di ajak Gita kesana. "Mas Doyoung masih hidup, pasti dia kembali ma. Jadi nggak perlu mendoakan dia tenang di alam sana"
Seketika Arissa menjadi anak pembantah. Selalu menangis di setiap pertengahan malam saat tangan mengadah. Meminta kepada tuhan untuk mengembalikan orang terkasih. Yang nampaknya belum di jawab sepenuhnya oleh tuhan.
Arissa lagi-lagi mendesah nafas kecewa. Berjalan dengan langkah gontai menuju nakas. Bagaimana pun pesan dari Doyoung ia harus bisa melupakan, walau sulit. Hidup tetap berjalan.
Pekerjaan yang banyak terbengkalai di selesaikan oleh Taeyong. Lelaki itu selama ini sudah banyak membantu. "Arissa, kalau masih belum baikan libur aja dulu nggak pa-pa. Masa cuti kamu masih berlaku sampai besok kok"
"Ah nggak usah, aku baik-baik aja kok. Terimakasih atas semua bantuan nya mas"
Taeyong mengangguk. Menepuk pundak Arissa pelan setelah itu hengkang dari sana. "Yang kuat ya..."
🍭🍭🍭
Hari yang cerah. Matahari menampakkan sinarnya dengan terang. Membakar seluruh pori-pori dari manusia yang berlalu lalang di jalanan. Padatnya kondisi café yang Arissa bersama Salwa datangi sama sekali tidak mengganggu kegiatan berbicara mereka.
Segelas besar Lemon Tea itu di aduk pelan oleh sang teruni. Ini sudah empat puluh hari lebih. Semuanya berjalan lancar. Tak ada lagi tangis hingga caci maki dari kedua gadis ini. "Gimana cuti lo, wa?"
Salwa mengangkat dagu nya pelan. Tersenyum manis seperti biasa. "Sebentar lagi habis, jadi harus siap-siap bertempur dengan rumah sakit lagi. Kalau lo? Masih ngurus orang depresi sama sakit jiwa?"
Tawa keduanya menguar. Dengan tangan yang bebas tugas, Arissa layangkan pukulan keras ke bahu sang teman. "Mereka bukan orang sakit jiwa ataupun gila!" makinya pelan.
"Arissa... lo, masih setia nunggu?"
Terdiam seribu bahasa, yang ditanya mengangguk pasti. "Jasad mereka berdua sampai sekarang belum di temukan, dan gue percaya wa, kalau Mas Doyoung belum pergi kedunia lain"
"Kalau jasad mereka berdua terbakar dan hangus? Kita mau apa?"
Tatapan dingin diberikan Arissa. Tak seperti biasanya, gadis ini lebih sensitive. Berbeda dengan Salwa yang masih dengan tatapan sendunya saat menunggu jawaban. "Nggak Salwa! Gue percaya Mas Doyoung pasti kembali"
Seperti inilah Arissa. Ibarat kata, tidak percaya dan masih bebal otaknya. Menolak semua gagasan tentang kekasih yang sudah dipastikan hilang atau belum kembali. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Bisa dikatakan belum menerima seluruhnya?
Hidangan makanan itu mendingin. Tak disentuh sama sekali. Hanya ia sendiri. Salwa sudah pergi beberapa menit yang lalu.
Memilih beranjak setelah membungkus sisa makanan nya. Bertepatan dengan pintu café yang dibuka secara bersamaan. Arissa terjatuh, dengan kondisi kepala menunduk—memeriksa kaki yang sakit.
"Aduh maaf, saya nggak sengaja"
Terdiam membisu. Seakan waktu telah berhenti berputar. Tatapan, suara serta kontak mata yang mereka lakukan membuat Arissa melengkungkan bibir kebawah.
Tuhan scenario apalagi yang sedang kau mainkan?
Tbc
Bagaimana dengan chapter hari ini?
Scenario apalagi yang sedang dimainkan oleh tuhan?
Dan siapa kira-kira yang menabrak Arissa di depan pintu cafe?
Ada yang rindu dengan Mas Doyoung dengan Jeffrey?
Tujuh hari, Empat puluh hari, alur sedikit ku percepat biar nge feel ya.
See u next chap, jangan lupa vote komentar nya!
Terima kasih semua💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Half Cold ; With Doyoung (√)
FanfictionTentang dia, lelaki yang banyak menyimpan kenangan buruk akibat masalalu nya. Ketika perkataan dan perbuatan orang terdekat yang bisa melukai perasaan nya sendiri. Dia doyoung dengan segala perasaan yang ada di hatinya. Mendeklarasikan kata menjadi...