20. Peduli?

1.2K 106 4
                                    

"Kalau hobi bisa meringankan kesedihan, gue lakuin."— Adara Nathania

HAPPY READING

Seorang gadis berjalan gontai menuju halte dekat sekolah, karena ia tidak membawa kendaraan maka ia harus menunggu taxy atau angkutan umum lainnya. Mulutnya sedari tadi tak pernah berhenti berkomat-kamit mengabsen berbagai nama binatang, moodnya hancur karena seseorang.

"Tadi pagi maksa sekarang gue di tinggalin, Guntur setan awas lo ya nyesel gue ngak kunci pintu semalem," kata Dara merutuki kecerobohannya semalam ketika pulang dari balapan, bisa-bisanya ia lupa mengunci pintu dan sekarang ia baru menyesal. Peluh keringat membanjiri keningnya,  kakinya gencar menendang kerikil di sepanjang jalan.

"Liat pembalasan gue nanti, dasar titisan manusia tembok," pekiknya, ia tak peduli di kata orang gila karena berteriak di tengah hari bolong seperti ini, rasa kesalnya terhadap Guntur lebih besar daripada rasa malu yang harus ia tanggung karena berjalan di tepi jalan dengan berbagai umpatan yang keluar dari bibirnya.

Dengan kasar Dara mendaratkan bokongnya di tempat duduk halte.

"Ponsel sialan, di saat gue butuh, lo malah mati dasar ngak guna," umpatnya kepada ponsel yang sama sekali tidak bersalah, ia lagi-lagi lupa untuk mencharger dan sekarang ia baru menyadarinya. Dasar Dara.

"Ekhem," deheman seseorang seolah angin lalu bagi Dara.

Sosok di belakang Dara memegang pundak gadis itu hingga empunya terkesiap.

"SIAPA SIH," bentak Dara menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati sosok cowok yang membuat moodnya hancur. "Ngapain lo di sini, ngak puas lo buat gue kayak gini."

Guntur menaikan sebelah alisnya. "Gue ngak maksud," ucap Guntur.

Dara berdecih. "Cara lo terlalu receh buat permainin gue."

"Gue kesini karena jemput lo," pungkas Guntur. "Buruan!"

Dengan ogah-ogahan Dara berjalan mengikuti langkah Guntur menuju motornya, namun kaki Dara seperti mati rasa saat menginjak aspal.

Hap.

Tangan Guntur sigap menarik tubuh mungil Dara hingga menubruk dada bidangnya.

"T-thanks," ucap Dara kikuk. Ingin rasanya ia memaki kakinya sekarang juga tapi gengsinya lebih dulu mengurungkan niatnya.

"Lain kali hati-hati!" peringat Guntur kemudian naik ke atas motornya di susul oleh Dara yang masih mengumpat dalam hati.

***

Langkah lebar yang terkesan tergesa-gesa itu terus berjalan melewati pilar-pilar bangunan yang berjajar rapi layaknya istana.

Pintu terbuka turut menyambut kedatangan Guntur membuat para pembantu rumah itu menundukan kepala mereka sebagai rasa hormat.

"Den Guntur sudah di tunggu di ruang kerja," ujar salah satu pembantu dengan nada sopan.

Tanpa sepatah kata Guntur berjalan melewati puluhan para pembantu yang masih senantiasa menundukkan kepala mereka.

Ceklek.

GUNTUR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang