Two

34K 5.8K 886
                                    

Merasa terpanggil namanya, Pangeran menatap ke depan kelas. Seorang gadis berparas cantik seperti bersinar terang itu tengah menatapnya dengan binar mata yang kentara. Pemuda itu mengerutkan keningnya, merasa asing dengan wajah gadis itu. Lalu kenapa gadis itu mengenal dirinya?

"Ara, apakah kamu mengenal Pangeran?" tanya Bu Lili.

"Dia-"

Belum selesai Ara melanjutkan ucapannya, Tinker lebih dulu menyerobotnya. "Ingat Putri, sembunyikan identitasmu," ujarnya.

Ara menghela napas lega, hampir saja ia keceplosan. Ya, walaupun dirinya tidak yakin kalau manusia-manusia itu akan percaya jika dirinya mengakui identitasnya. Pasti mereka akan menganggap dirinya gila.

"Aku tidak mengenalnya, Guru. Karena wajahnya tampan, jadi aku memanggilnya Pangeran," ujar Ara yang tentunya berbohong. Ini juga kali pertamanya seorang Putri Dingin berbohong. Di negerinya sana, ia tidak pernah berbohong sama sekali.

"Wah, kok bisa pas gitu, ya? Dia namanya emang Pangeran," ujar Bu Lili.

Ingin rasanya Ara menyemburkan tawanya. Ternyata manusia lebih mudah ditipu dibanding golongannya, yakni golongan peri. Namun dengan mati-matian gadis itu menahan tawanya.

"Kamu cenayang, ya?" tanya Bu Lili.

Ara mengerutkan keningnya. Bahasa apa lagi itu? Manusia memang ribet membuat bahasa-bahasanya itu. Mengapa tidak membuat yang mudah saja supaya gampang diingat oleh makhluk luar bumi sepertinya?

"Cenayang adalah seorang peramal, Putri."

Ara beruntung masih mempunyai Tinker yang akan membantunya.

"Aku manusia, Guru. Bukan cenayang." Ara menundukkan kepalanya hormat. Namun anehnya, perilakunya itu mengundang tawa para manusia penghuni kelas itu. Apakah ada sebuah lelucon?

"Jangan panggil saya Guru. Panggil saja Ibu," ujar Bu Lili dengan senyumannya.

"Tidak bisa Guru, panggilan itu hanya untuk Ibu saya." Sekali lagi, Ara menundukkan kepalanya pertanda maaf.

Bu Lili tertawa. Anak ini memang lucu sekali. "Silakan perkenalkan namamu."

Ara mengangguk. "Namaku Putri Dingin, karena Tinker mengubah namaku, jadi, sekarang aku bernama Ara. Walaupun aneh, aku tetap menyukainya. Aku berasal dari Kerajaan Dingin dan berasal dari golongan peri." Ara mengakhiri ucapannya dengan senyuman lebarnya.

Semua penghuni kelas XI IPA 1 tertawa mendengarnya. Menurut mereka, gadis yang berdiri di depan kelas itu sedang bercanda. Ada-ada saja kata mereka.

"Putri! Apa yang kau lakukan?!" tanya Tinker menyadarkan Ara. Buru-buru ia menutup mulutnya yang keceplosan.

"Aku bercanda. Namaku Ara," ralatnya kemudian." Ara menghembuskan napas lega saat para manusia itu percaya kepadanya.

Bu Lili menghentikan tawanya. "Yasudah, kamu bisa duduk di depan bangku Pangeran," ujar Bu Lili.

"Benarkah?" tanya Ara semangat.

"Benar, Ara," jawab Bu Lili.

Mendengar jawaban Bu Lili, Ara segera berjalan menuju bangku yang ditunjuk Bu Lili tadi. Ia mendudukkan pantatnya dengan keras lalu mengaduh kesakitan. "Aw ... kursi ini keras sekali. Terbuat dari apa ini?" Ara berujar sembari mengelus pantatnya yang terasa sakit. Jika di Kerajaan, kursi disana tidak keras seperti kursi di bumi. Semua empuk, tidak seperti kursi yang didudukinya. Berbentuk aneh dan menyakitkan.

"Itu dari kayu, masa lo nggak tau?" tanya siswi di sampingnya sembari tertawa.

Ara menggaruk pelipisnya. Berada di bumi membuatnya terlihat bodoh sekali. Padahal di negeri Dingin ia dikenal sebagai gadis Kerajaan yang pandai.

Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang