Pangeran mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia baru saja pulang dari tempat nongkrong Geng Handsome. Hanya sekedar untuk menghilangkan stres akibat masalah yang baru saja menimpanya. Pangeran sempat merasa gagal menjadi anak karena tidak bisa menjaga mamanya dengan baik. Kebencian yang tertanam di dada untuk papanya, selalu bertambah jika papanya itu kembali berbuat ulah.
Pangeran hanya ingin bahagia bersama kedua orang tuanya. Walaupun terdengar mustahil karena papanya begitu membencinya. Pangeran tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Yang pasti, sejak Pangeran kecil, pemuda itu tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah.
Tiba-tiba saja, hasrat ingin pipisnya muncul. Pangeran menatap ke sekitar dan pandangannya jatuh ke sebuah taman yang tampak sepi. Karena tidak lagi bisa ditahan, Pangeran memutuskan untuk numpang pipis di sana. Lagi pula jalanan yang dilewatinya juga tampak sepi. Jadi, aman-aman saja jika Pangeran memenuhi HIVnya di sana.
Hampir saja Pangeran membuka kancing celananya kalau saja ia tidak melihat seorang gadis tergeletak mengenaskan di atas rerumputan. Dengan langkah gemetar Pangeran menghampirinya. Tangannya bergerak menyingkirkan rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu.
"Ara?!" pekiknya terkejut saat ternyata gadis itu adalah Ara. Pangeran berniat mengangkat tubuh Ara namun tangan gadis itu mencegahnya.
"Ra? Lo masih hidup 'kan?" tanya Pangeran memastikan. Jujur, Pangeran merasa sedikit ngeri saat melihat baju Ara yang berlumuran darah. Tangan Pangeran bergerak menepuk pipi gadis itu berharap membuatnya sadar sepenuhnya.
"Ra?" panggil Pangeran lagi.
Ara membuka matanya sedikit. Ia sadar namun terlalu berat untuk membuka matanya. Wajahnya terlihat sangat pucat hampir menyerupai mayat.
"Pangeran," panggil Ara pelan.
"Ayo gue bawa ke rumah sakit. Walaupun gue seneng nggak ada lo lagi di dunia ini, tapi gue tetep nggak tega lihat lo mati ngenes kayak gini, Ra," ujar Pangeran dengan wajah serius.
Ara menggelengkan kepalanya pelan. Tangannya menarik Pangeran agar lebih mendekat ke arahnya. "Jangan," ucapnya pelan.
"Kenapa? Lo mau mati, hah?!" tanya Pangeran.
Lagi-lagi Ara menggelengkan kepalanya. Tenggorokannya terasa tercekik. Kekuatannya melemah. Tusukan yang Ramli berikan terlalu dalam hingga membuatnya terluka parah. Apalagi darah yang keluar dari perutnya terlalu banyak hingga membuat Ara benar-benar lemas.
"Tolong cium aku," ujar Ara memohon dengan wajah yang sangat menyedihkan.
Pangeran yang mendengar itu pun lantas membulatkan matanya terkejut. Apakah Ara sedang bercanda? Mengapa gadis itu membuat lelucon di tengah-tengah keadaan yang genting seperti ini? Pangeran rasa Ara benar-benar telah kehilangan otaknya.
"Jangan ngada-ngada. Ayo gue anter ke rumah sakit!" titah Pangeran tanpa mempedulikan ucapan Ara.
"Aku mohon." Air mata Ara kembali menetes dengan derasnya. "Soal luka aku bisa dengan mudah menyelesaikannya. Tetapi ... uhuk!"
Bahkan Ara sampai terbatuk darah. Pangeran semakin panik melihatnya."Yang terpenting adalah kekuatanku," lanjut Ara. "Cium aku, setelah itu kekuatanku akan pulih kembali." Ara menyatukan kedua tangannya memohon kepada Pangeran.
"Lo ben--beneran?" tanya Pangeran ragu-ragu. Sebetulnya ia merasa bingung dengan maksud Ara. Apa manfaat yang diperoleh dengan mencium gadis itu?
Ara menganggukkan kepalanya. "Cepatlah sedikit. Atau aku-"
"benar-benar akan kehilangan nyawa," imbuh Ara dengan wajah yang semakin pucat pasi.
Tanpa lama-lama dengan jantung yang hampir loncat dari tempatnya, Pangeran mencium Ara. Bibir keduanya saling menempel. Dunia seolah berhenti. Semesta seperti tengah menyaksikan dua remaja berbeda dunia itu.
Tanpa sadar, Pangeran pipis di celananya saking gemetarnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Ara melepaskan ciumannya terlebih dahulu. Keadaan berubah menjadi canggung. Wajah Ara berangsur merona seperti biasanya. Pangeran yang melihat itu pun mengerutkan keningnya bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi?
"Sekarang, tinggalkan aku sendiri," ujar Ara yang terlihat masih lemas.
Pangeran dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau dijadikan saksi atas kematian Ara nantinya. "Lo bener-bener gila, ya?!"
Ara tersenyum tipis. "Tidak. Aku serius. Sekarang, aku akan melakukan pemulihan," jawab Ara.
"Maksud lo apa sih?" tanya Pangeran semakin bingung.
"Tinggalkan aku sekarang sebelum semuanya terlambat, Pangeran." Ara menekan perutnya yang terasa sakit.
"Beneran, Ra? Gue nggak yakin sumpah. Maksud lo gimana sih?"
Ara menggerakkan tangannya mengusir Pangeran. "Pergi sana."
"Tapi, luka lo parah banget, Ra. Gimana caranya lo nyembuhin?" tanya Pangeran.
"Aku punya cara sendiri. Kamu hanya perlu pergi dari sini. Setelah itu aku akan sembuh," jawab Ara.
"Percayalah, aku tidak apa-apa," final Ara.
Tak tahu harus bagaimana, Pangeran hanya bisa mengikuti perintah Ara. Walaupun terdengar tidak masuk akal, entah kenapa Pangeran sedikit mempercayainya. Kakinya mulai melangkah menjauh dari Ara yanng masih terbaring. Sesekali Pangeran menengok ke belakang untuk sekedar melihat keadaan Ara.
"Bibirnya terasa manis," ujar Ara dengan kikikan yang masih bisa Pangeran dengar. Karena malu, Pangeran kembali menaiki motornya denga sejuta teka-teki yang menghantui pikirannya.
****
Pangeran memutuskan untuk pulang ke rumah. Yakali dirinya pergi ke rumah sakit dengan celana basah seperti ini. Pikirannya masih melayang ke Ara. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Apakah masih hidup ataukah sudah meninggal?
Pangeran berdoa di dalam hati supaya tidak terjadi apa-apa dengan Ara. Mengapa dia tidak langsung membawa gadis itu ke rumah sakit tadi? Mengapa dirinya malah memilih mencium Ara? Entahlah, dirinya seperti terhipnotis saja tadi.
Ngomong-ngomong tentang ciuman, Pangeran jadi ingat kejadian waktu itu. Saat dirinya jatuh dari motor bersama Ara. Lalu tiba-tiba kakinya sembuh tanpa ada bekas sedikitpun setelah mendapatkan ciuman. Bertepatan dengan menghilangnya Ara secara tiba-tiba. Ataukan gadis itu pelaku sebenarnya?
Pangeran menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin.
Mencoba untuk mengenyahkan pikiran tentang Ara, Pangeran masuk ke dalam rumah. Tepat saat kakinya menginjak ruang tamu, pemandangan tidak enak menjadi suguhannya.
Papanya.
Pangeran mengepalkan tangannya. Kalau saja dirinya tidak mengingat bahwa lelaki itu adalah orang tuanya sendiri, mungkin Pangeran sudah menghajarnya sejak dulu.
"Mau apa Papa ke sini?" tanya Pangeran kepada Rey--papanya.
Rey mendekat ke arahnya. Berjalan memutari Pangeran yang berdiri tegap. Seringaian muncul di bibir lelaki itu.
"Sudah mati belum?" tanya Rey dan Pangeran paham yang dimaksud papanya itu adalah Mala.
"Jaga mulut kotor Papa itu!" Pangeran menunjuk Rey tepat di wajahnya.
Merasa terhina oleh anaknya, tangan Rey memelintir telunjuk Pangeran.
"Semakin hari saya semakin membencimu, anak tidak berguna," ujar Rey sarkas.
Pangeran tersenyum miris. "Terserah Papa. Lakuin apapun yang Papa suka kecuali nyakitin Mama," balas Pangeran tak kalah sinis.
"Kau tahu kenapa Papa begitu membencimu?" tanya Rey kepada Pangeran.
Pangeran membuang wajahnya ke samping. Merasa tidak sudi bertatapan dengan bajingan yang menyandang status sebagai orang tuanya.
"Itu karena kamu adalah penyebab kematian seseorang yang begitu Papa cintai," ujar Rey lalu pergi dari hadapannya bersama dengan seorang anak buahnya.
****
_1034 kata_
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Dingin (Lengkap)
General FictionNamanya Putri Dingin. Putri dari Kerajaan di negeri Dingin. Ia ditugaskan ayahnya untuk mencari permata ajaib yang hilang di bumi. Saat Raja Panas ingin mencuri permata ajaib itu, naasnya permata itu malah jatuh ke bumi dan ditemukan oleh seorang pe...