Twenty Two

17.8K 3.3K 80
                                    

"Tapi ... kenapa?"

Ratu Dingin mengurai pelukannya. Menatap sang putri yang mengerutkan keningnya bingung. Ratu Dingin mencubit pipi Putri Dingin lantas tertawa kecil. Putrinya itu memang banyak tanya. Padahal dirinya sudah sering menjelaskan. Tetapi Putri Dingin selalu saja menanyakan hal yang sama entah kenapa.

"Seorang peri tidak boleh menjalin hubungan dengan manusia, Putri," balas Ratu Dingin.

"Mengapa begitu?"

"Kamu tidak boleh menyalahi kodrat yang sudah ada. Ingat batasanmu di sini. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Ratu Dingin menatap lembut putrinya.

Putri Dingin pun menundukkan kepalanya merasa sedih. Ia merasa ragu karena manusia terlihat begitu menawan. Banyak dari mereka yang berwajah tampan. Manusia juga memiliki aura yang berbeda dengan peri. Putri Dingin jadi ragu untuk mengiyakan ucapan ibunya.

"Kamu mengerti 'kan?" tanya Ratu Dingin.

Tidak ingin membantah ibunya, Putri Dingin mengangguk walau terpaksa.

"Lagi pula kamu sudah dijodohkan sejak kecil. Kamu tidak lupa 'kan?"

Putri Dingin tersenyum tipis mendengarnya. Tentu saja dia tidak akan lupa dengan sahabat sejak kecilnya yang dijodohkan dengannya. Sahabatnya itu memang sangat tampan, tetapi manusia juga tampan.

"Aku ingat, Bu. Mana mungkin aku melupakannya." Putri Dingin tertawa di akhir kalimatnya.

"Kalau begitu, Ibu pergi dulu. Kamu hati-hati di sini. Jangan sampai kelelahan, ya?" Ratu Dingin mengelus rambut putrinya sebagai perpisahan.

Putri Dingin mengangguk lantas tersenyum walau matanya menangis melihat kepergian ibunya. Baru saja ia melepas rindu, tetapi ibunya sudah pergi meninggalkannya. Cahaya dari langit itu perlahan menghilang. Menyisakan langit malam yang gelap dengan taburan bintang yang bersinar terang.

Putri Dingin duduk di atas rerumputan. Sebentar lagi pagi akan datang. Sepertinya, kekuatan menghilangnya masih bisa dilakukan. Jadi, dia merasa tenang tanpa harus memikirkan bagaimana caranya pulang dari sini.

Dinginnya malam menusuk kulit gadis itu. Bumi memang tak sedingin di negerinya. Apalagi saat siang, bumi terasa begitu panas hingga membuat kulitnya terasa terbakar. Putri Dingin heran dengan manusia, mengapa mereka begitu kuat? Untung ia bisa menyesuaikan diri dengan cepat.

Sembari menunggu waktu pagi datang, Putri Dingin memutuskan untuk tidur di atas rerumputan.

****

Pagi datang dengan cerahnya. Sama cerahnya dengan wajah Ara saat ini. Setelah pulang dari bukit semalaman, gadis itu dikejutkan dengan Tante Riri yang menunggunya dengan cemas di depan pintu rumah. Ara jadi merasa kasihan dengan wanita itu karena selalu membuatnya khawatir.

"Kamu ke mana aja, Ra? Kenapa seharian nggak pulang?" tanya Tante Riri sembari mengecek kondisi tubuh Ara dari atas sampai bawah.

"Aku hanya jalan-jalan sebentar." Ara menampilkan cengiran polosnya yang selalu menjadi senjatanya. "Setelah itu aku menginap di rumah Lisa," bohongnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tante Riri memastikan.

Ara mengacungkan jempolnya. "Tidak apa-apa. Jam berapa ini? Apakah aku masih bisa sekolah?" tanyanya.

"Masih ada waktu satu jam. Kamu cepetan mandi, Tante bikin sarapan dulu."

Ara mengangguk mendengar ucapan Tante Riri. Gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah riang. Rasanya, Ara tidak sabar untuk sekolah. Bukan-bukan, lebih tepatnya tidak sabar untung mengganggu Pangeran, si makhluk menyebalkan.

Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang