Thirty Six

14.9K 2.8K 71
                                    

Pangeran membuka matanya. Kepalanya terasa sangat pusing. Matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Tatapannya beralih menatap Ara yang tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang bertumpu pada ranjangnya. Entah dorongan dari mana, tangan Pangeran bergerak mengelus rambut Ara.

Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya saat merasakan rambut lembut milik Ara mengenai tangannya. Pangeran tersenyum tipis. Jadi, Ara yang menjaganya semalaman? Tapi tunggu, mengapa Pangeran tidak ingat dengan kejadian semalam? Dia terbangun saat matahari sudah terbit saat ini. Sejak kapan dirinya tidur lagi?

Pangeran berasumsi kalau dirinya lupa karena efek sehabis kecelakaan. Pangeran menatap Ara yang masih tertidur dengan pulas. Tangannya membelai pipi Ara lembut. "Gue ... beneran suka sama lo, Gil?" Pangeran berbicara sendiri.

"Atau ini karena pengaruh sihir lo?" Pangeran menggelengkan kepalanya. Tetapi, dirinya selalu merasa gugup juga jantungnya yang berdebar kencang ketika berdekatan dengan Ara. Ia masih tidak menyangka kalau dirinya menyukai gadis yang selalu dirinya anggap 'bodoh' itu.

"Cinta emang sesederhana itu, ya." Pangeran tertawa miris. Ia menatap langit-langit rumah sakit itu. Sadar akan sesuatu, Pangeran refleks terbangun dari rebahannya.

"Kenapa gue ngerasa nggak ada yang sakit lagi?" tanya Pangeran heboh lalu mulai mengecek seluruh badannya. Matanya membulat saat melihat tidak ada satu pun luka yang berada di tubuhnya.

"Ini kayak kejadian waktu itu," ujar Pangeran mengingat saat dirinya dan Ara terjatuh dari atas motor. Lukanya mendadak sembuh dan tidak membekas. Sama seperti saat ini.

Matanya menatap Ara dengan selidik. Atau jangan-jangan-

"Ara nggak mungkin setan 'kan?" Pangeran bergidik ngeri. Ia menatap Ara dengan teliti. "Dia manusia kok. Otaknya aja yang nggak normal," imbuhnya.

Pangeran menilik kaki Ara entah-entah tidak menapak di lantai. Tepat saat Pangeran mengintip kaki Ara, pemuda itu jatuh terjembab di lantai dengan kerasnya. Ara yang mendengar bunyi bedebum itu langsung terbangun. Ia menatap ke sekelilingnya.

"Pangeran? Kamu di--aaaaaa!!"

Bruggh

Ara jatuh menimpa Pangeran karena tersandung kursinya sendiri. Tatapan mereka bertemu. Keduanya sama-sama diam dalam posisi seperti itu. Mata mereka saling beradu.

Ara dan Pangeran sama-sama merasakan jantung mereka berdetak lebih cepat dari detik sebelumnya. Keduanya saling mengunci tatapan. Lamat-lamat Pangeran menatap gadis itu. Tidak peduli dengan tubuhnya yang sakit karena berhantaman dengan keras di lantai rumah sakit. Keduanya seolah terhipnotis dengan tatapan masing-masing.

Sadar apa yang baru saja terjadi, keduanya sama-sama memutuskan pandangan. Ara berdiri lalu duduk kembali di kursinya. Tangannya meraba dadanya. "Ada apa dengan jantungku?" tanyanya pelan kepada diri sendiri.

Pangeran berdehem canggung lalu duduk kembali di atas ranjang. Pemuda itu menunduk dan memegang dadanya. Sama seperti yang dilakukan Ara. "Gue nggak punya riwayat jantung 'kan?" tanyanya memastikan kepada diri sendiri.

****

Pangeran menatap malas ke arah Arka, Banu, Mark, dan Dadu yang menatapnya penuh selidik. Banu menyentuh punggung, tangan, pipi, dan rahang Pangeran yang semula terdapat luka dan memar kebiruan. Mengapa sekarang menghilang tanpa bekas sedikit pun?

Mark menampol kepala Pangeran lumayan keras untuk memastikan apakah pemuda itu merasa sakit atau tidak. "Anj-" Umpatan Pangeran tertahan. Ia mengelus keningnya yang terasa sakit.

"Kurang ajar lo!" marahnya kepada Mark yang menatapnya tanpa dosa. Kalau bukan teman baiknya, mungkin Pangeran sudah menyuruh Mark untuk hengkang dari ruang rawatnya.

"Gue masih nggak percaya," ujar Banu masih merasa bingung. Pemuda itu masih terus menatap Pangeran dari atas sampai bawah.

"Gue udah sembuh," jawab Pangeran dengan santai. Ia merebahkan tubuhnya seperti orang yang tidak sakit sama sekali.

"Lo beneran udah sembuh?" tanya Arka memastikan.

"Kenapa? Takut kalah dari gue kalau udah sembuh?" Pangeran tersenyum miring menatap sahabatnya itu.

Arka merotasikan matanya malas. Tentu saja dia tidak akan takut. Arka akan terus berjuang demi mendapatkan hati seorang Ara. Makhluk langka yang pernah dirinya temui.

"Tapi, gimana caranya lo bisa sembuh, Bos?" tanya Dadu yang sedari tadi menatap selidik ke arah Pangeran.

"Orang ganteng bebas," jawab Pangeran dengan pedenya. Jujur saja dirinya pun merasa bingung. Mengapa hal ini terjadi dua kali padanya? "Mungkin gue anak ajaib kali," tebaknya.

"Bisa jadi, Bro." Mark mengacungkan kedua jempolnya. "Mau dong bawain Jisoo Blackpink ke sini," pintanya kepada pangeran.

"Jisoo Blackpink matamu," celetuk Banu menimpali.

"Gue serius. Kenapa lo bisa tiba-tiba sembuh kayak gini sih?" tanya Arka dengan muka seriusnya.

"Gue juga nggak tahu, bege. Bangun-bangun badan gue langsung enak," jawab Pangeran apa adanya.

"Mungkin obat di rumah sakit ini berkualitas pake banget," balas Mark.

Mereka semua menganggukkan kepalanya. Mungkin apa yang dikatakan Mark benar adanya. Apalagi kalau bukan karena obat?

"Ara mana? Siapa tahu kita bisa tanyain sama dia," ujar Arka teringat dengan Ara. Di sekolah tadi dirinya sama sekali tidak bertemu dengan Ara.

Pangeran mengedikkan bahunya tanda tidak tahu. Tadi Ara pamit pergi darinya. Dia kira Ara berangkat ke sekolah. "Emang dia nggak sekolah?" tanya Pangeran.

Arka menggelengkan kepalanya. "Enggak," balasnya.

"Tidur di rumah kali. Udah ah biarin aja,"  balas Dadu.

Arka dan Pangeran mengangguk. Semoga saja apa yang dikatan Dadu memang benar adanya.

****

Ara menatap ke sekelilingnya. Lehernya terasa sakit seperti dicekik. Tangannya terdapat banyak darah yang membuat Ara merasa mual saat itu juga. Bau anyir dari darah memang selalu membuat Ara pusing dan mual.

Sekelilingnya terdapat pohon-pohon berdaun lebat dengan suasana sepi yang mencekam. Tempat keberadaannya ini tampak gelap dengan angin yang berhembus dingin yang membuat bulu kuduk Ara berdiri karena merinding.

"Di mana aku?" tanya Ara kebingungan. Waktu pulang dari rumah sakit, Ara berjalan kaki menuju rumah Tante Riri untuk pulang karena waktunya sekolah.

Saat sedang berjalan, tiba-tiba ada angin yang sangat kencang yang menariknya hingga sampai ke sini. Ara tidak tahu di mana dirinya sekarang. Mungkin karena bergesekan dengan tanah saat dirinya sampai di sini.

"Sakit," cicitnya saat kedua telapak tangannya mengeluarkan darah.

"Hai, Putri. Apakah kau senang bertemu kembali denganku?" ujar seseorang menggema di seluruh hutan yang menjadi keberadaan Ara.

Tentu gadis itu tidak bisa melihat siapakah yang berbicara dengannya karena seseorang itu tidak menampakkan wujudnya. Tiba-tiba Ara merasakan aura panas di sekitarnya. Ia tahu ulah siapa ini.

Ara menggeram. "Untuk apa kau menggangguku, Raja Panas?" tanya Ara merasa geram. Ya, dirinya tahu kalau suara itu adalah milik Raja Panas.

"Aku ingin bersenang-senang denganmu, Putri Dingin. Apakah tidak boleh? HAHAHAHA."

Bahkan tawa Raja Panas terdengar begitu mengerikan. Suara besarnya yang menggema itu terdengar menakutkan untuknya.

"Apa yang kau mau dariku?!" tanya Ara.

"Aku ingin kau mati di tanganku, Putri Dingin yang malang," jawab Raja Panas yang masih tidak menampakkan wujudnya.

****

_1042 kata_

Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang