Four

27.1K 4.9K 83
                                    

Ara menangis sendirian di jalan raya. Berjalan tak tentu arah, ia hanya melangkah ke sembarang arah. Tanpa adanya tujuan. Sinyal yang menghubungkan antara dirinya dan Tinker terputus yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Ini baru pertama kalinya ia pergi ke bumi. Maka dari itu, wajar kalau Ara tidak tahu apa-apa mengenai planet ini.

Gadis itu memutuskan untuk duduk di pinggir jalan. Kepalanya mendongak ke atas. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di sana. Matanya beralih melihat bulan yang bersinar. Dalam keadaan seperti ini, ia merasa rindu kepada ibunya. Ingin rasanya Ara kembali. Memeluk erat ibunya ketika tidur, bermanja-manjaan seperti biasanya, dan masih banyak lainnya.

Tidak seperti sekarang ini, ia merasa sendirian, terlantar, dan terasingkan. Mungkin ayahnya itu sedang menguji kemampuannya. Selama ini Putri Dingin dikenal sebagai putri kerajaan yang sangat manja, sering membuat onar, dan pandai. Tetapi banyak sekali yang menyayanginya. Mereka menganggap bahwa Putri Dingin itu gadis yang lemah. Namun kali ini ia akan membuktikan kepada seluruh kaum peri bahwa dirinya tidak seperti yang mereka bayangkan.

"Ibu ... aku rindu." Ara menangis sesenggukan. Ia menaruh kepalanya di antara lipatan tangannya.

"Nak ..."

Ara terkejut saat seseorang datang menghampirinya lalu menepuk tangannya pelan. Gadis itu menatap wanita yang seumuran dengan ibunya.

"Siapa kamu? Apakah kamu manusia?" tanya Ara.

"Jelas saja aku manusia. Panggil saja Tante Riri." Wanita itu tersenyum ke arah Ara. Senyuman manis dan hangat yang mengingatkan Ara kepada senyuman ibunya. Manusia di depannya ini memiliki senyum yang persis seperti ibunya.

"Namaku Ara," ujar Ara memperkenalkan diri.

"Nama yang bagus. Ara kenapa nangis di pinggir jalan seperti ini?" tanya Tante Riri dengan raut khawatir.

"Aku tidak tahu harus kemana. Aku tidak memiliki rumah disini." Ara menundukkan kepalanya sedih.

"Loh, kok bisa? Kamu tidak punya rumah?" tanya Tante Riri lagi.

Ara menggelengkan kepalanya.

"Orang tua kamu dimana?" tanya Tante Riri.

"Ayah dan ibuku tidak ada disini. Mereka ada di atas sana." Ara menujuk ke arah langit.

Tante Riri mengangguk-anggukkan kepalanya. Menurut asumsinya, orang tua Ara telah meninggal dunia. "Memang sebelumnya Ara tinggal dimana?" tanya Tante Riri yang masih penasaran.

"Aku-" Ara memutar otaknya untuk berpikir. Sekarang, ia harus menjawab apa? Tidak ada Tinker, tamatlah riwayatnya.

"Ara?" Tante Riri melambaikan tangan di depan wajah Ara.

"Putri, katakan saja kalau orang tuamu meninggal. Dan rumahmu disita untuk membayar hutang mereka. Jadi, kamu tidak memiliki apa-apa lagi," ujar Tinker yang membuat Ara bernapas lega.

"Orang tuaku meninggal dunia. Rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan orang tuaku pun disita untuk membayar hutang," ujar Tinker.

"Saudaramu?" tanya Tante Riri.

Ara menggelengkan kepalanya. "Tidak ada."

Tante Riri menatapnya malang. Kasihan sekali nasib Ara. Mungkin gadis itu tidak tahu lagi untuk meminta tolong kepada siapa. "Ara mau ikut Tante?" tawar Tante Riri.

"Mau!" jawab Ara semangat.

"Ayo ikut ke rumah tante," ajak Tante Riri.

"Benarkah?!" tanya Ara dengan binar matanya. Tante riri tertawa kemudian mengangguk kecil mengiyakan pertanyaan Ara.

Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang