Pangeran duduk di sebelah Ara yang tengah terbaring lemah. Beberapa kali pemuda itu bergerak gelisah karena khawatir. Bukan hanya Pangeran, Tante Riri dan juga Arka pun sama halnya dengan pemuda itu. Mereka ingin membawa Ara ke rumah sakit karena luka Ara dan juga kondisinya yang sepertinya parah. Namun mendengar kata Pangeran, mereka berpikir dua kali untuk melakukannya.
Seluruh tubuh Ara sudah dibersihkan dan luka-lukanya pun sudah diobati. Suhu tubuh Ara meningkat namun kaki dan tangannya terasa dingin. Sedari tadi Ara juga belum sadarkan diri.
"Bangun, Gil," ujar Pangeran yang masih setia menemani Ara dari samping kiri. Sementara Arka berada di samping kanan. Tante Riri tengah duduk di sofa yang berada di dekat jendela kamar Ara. Wanita itu terlihat sangat sedih dengan tatapan yang menatap kosong ke arah Ara.
"Semua pengin lo bangun, Ra." Arka mengelus tangan Ara yang diperban. Ia merasa tidak tega melihat Ara dalam kondisi seperti itu.
"Gue lebih suka lo ngoceh kayak orang goblok, Gil," ujar Pangeran sembari mengelus tangan Ara yang satunya.
"Sebenarnya lo suka nggak sih sama Ara?" tanya Arka. Sepenglihatan dan pendengaran Arka, pemuda itu tidak pernah mendengar Pangeran memuji Ara.
"Suka. Gue 'kan cowok langka. Sama langkanya kayak Ara. Kalau lo 'kan pasaran," balas Pangeran mengeluarkan pendapatnya.
"Pasaran pale lu," balas Arka merasa kesal. Memangnya dia barang?
"Kenapa sama kepala gue? Iri lo?"
Arka menatap tajam Pangeran. Pemuda itu memang menyebalkan. "Gue punya sendiri."
Pangeran memilih mengacuhkan Arka yang tidak jelas itu dan beralih menatap Ara lagi. Bibir gadis itu terlihat sangat pucat dan kering. Padahal biasanya selalu berwarna merah muda segar. Pangeran merindukannya. Sangat.
Begitu juga dengan Arka. Ia rindu menghabiskan waktu bersama Ara. Menurutnya, Ara itu tidak menyebalkan. Dimatanya Ara hanyalah gadis polos yang tidak tahu apa-apa. Itulah yang membuat Arka suka kepadanya. Ara bukan gadis yang neko-neko orangnya.
"Tante mau mandi dulu, ya," ujar Tante Riri yang sudah berdiri dari duduknya. Melihat Pangeran dan Arka mengangguk, ia pun berlalu dari kamar Arka.
Pangeran menatap arloji yang melingkar di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Itu artinya sudah tiba waktu untuk sekolah. Berat rasanya jika harus meninggalkan Ara dalam kondisi seperti itu. Namun bagaimana lagi? Pangeran tidak biasa bolos sekolah.
"Kita pulang dulu, Ra," ujar Arka lalu mengelus lembut rambut Arka. Melihat itu Pangeran segera menampol tangan Arka agar enyah dari kepala Ara.
"Jangan sentuh jodoh gue!" ujar Pangeran sengit.
Arka merotasikan matanya malas. "Selagi janur kuning belum melengkung, gue bakal perjuangin Ara sampai mampu," jawabnya.
Pangeran melotot. "Itu kata-kata gue!" balasnya tidak terima.
"Bodo!" Arka menjulurkan lidahnya untuk meledek Pangeran. Tentu saja Pangeran merasa kesal. Ia membalas Arka dengan menepuk pantatnya menghadap ke arah Arka.
"Arka jelek!" ledeknya lalu berlari keluar kamar Ara. "Cepet sembuh, Gil. Nanti gue kangen!" teriaknya sembari terus berlari.
Arka menggelengkan kepalanya. "Dasar sinting!" ujarnya.
"Cepet sembuh, Ra. Gue cinta sama lo." Arka tersenyum tipis lalu pergi dari kamar Ara.
****
Ini sudah masuk minggu kedua setelah Ara ditemukan penuh dengan luka di pinggir jalan oleh Pangeran. Mereka semua ingin membawa Ara ke rumah sakit. Tapi Pangeran selalu melarangnya. Ia mengingat pesan Ara. Pangeran tidak bisa melanggarnya begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Dingin (Lengkap)
General FictionNamanya Putri Dingin. Putri dari Kerajaan di negeri Dingin. Ia ditugaskan ayahnya untuk mencari permata ajaib yang hilang di bumi. Saat Raja Panas ingin mencuri permata ajaib itu, naasnya permata itu malah jatuh ke bumi dan ditemukan oleh seorang pe...