Thirty Eight

14.3K 2.9K 84
                                    

Ara membuka matanya. Reaksi yang pertama ia rasakan adalah pusing hebat yang mendera kepalanya. Darahnya telah mengering. Menempel pada kulit putihnya yang sudah kotor karena tanah. Ara mencoba untuk bangun. Matanya yang masih buram itu ia kerjapkan.

"Kurang ajar." Ara menatap sekelilingnya yang sudah gelap. Hawa dingin menyeruak menusuk kulitnya. Entah di mana Raja Panas berada. Ara harap raja itu sudah pergi meninggalkannya.

"Bagaimana caraku agar bisa keluar dari sini?" tanya Ara kebingungan. Dirinya saja tidak tahu di mana keberadaannya saat ini. Apalagi keadaan yang sudah gelap membuat Ara susah untuk melihat sekitar.

"Tinker... tolong aku," lirih Ara. Kekuatannya benar-benar sudah habis. Bahkan kakinya saja seolah mati rasa. Ara kehilangan banyak darah. Untungnya masih bisa selamat.

Ara menyatukan kedua tangannya dan memejamkan matanya sembari duduk bersila. Semoga saja, dengan caranya kali ini sinyalnya dengan Tinker dapat terhubung. Ara benar-benar membutuhkan sahabatnya itu.

"TINKER!" pekik Ara kencang karena sinyalnya kembali menyala. Gadis itu tak kuasa menahan tangisnya.

"Putri," panggil Tinker.

"Tolong bantu aku, Tinker," pinta Ara dengan suara yang terdengar lemah.

Terdengar helaan napas di telinga Ara. Yakni berasal dari sahabatnya. "Aku tidak bisa membantumu untuk mengalahkan Raja Panas, Putri Dingin," ujar Tinker terdengar menyesal.

Ara mengerutkan keningnya. Bukannya sahabat ajaibnya itu memiliki sihir jarak jauh? "Kenapa begitu?" tanya Ara.

"Kekuatan sihir jarak jauhku tidak bisa digunakan untuk melawan kekuatan milik Raja Panas. Kali ini, kau harus menyelesaikannya sendiri, Putri. Aku akan bantu mengarahkanmu."

Ara sedikit kecewa mendengarnya. Namun apa boleh buat? Seberat apapun cobaannya, Ara harus tetap menghadapinya.

"Maafkan aku, Putri. Aku memang tidak berguna."

"Jangan berkata seperti itu, Tinker. Kalau tidak ada kamu, entah apa jadinya aku di sini," jawab Ara cepat.

"Terima kasih, Putri."

Ara mengetukkan jari di keningnya. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Ara. Gadis itu sudah tidak sabar ingin cepat-cepat keluar dari tempat sialan ini.

"Kau berjalan saja sembari mencari petunjuk. Kalau Raja Panas datang menghampirimu, kau harus menyerangnya dengan sekuat tenaga, Putri. Jika kau kalah lagi, kau akan mati di tangannya malam ini juga."

Ara menganggukkan kepalanya. Tinker akan melihat semua yang dilakukan olehnya melalui bola ajaib di sana. Bola itu akan menampilkan seluruh aktivitas Ara jika sinyal antara keduanya menyala.

Ara mulai berjalan dengan terpincang. Kakinya yang sakit ia paksa untuk berjalan. Tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang sakit semua, yang Ara inginkan saat ini hanyalah keluar dari hutan menakutkan yang dipijaknya.

"Aduh ..." Ara bangkit dari jatuhnya. Lututnya yang belum sembuh itu kembali sobek. Ia menggigit bibirnya untuk menahan sakit. Tidak apa-apa, Putri Dingin yang dikenal sering membuat onar tidak boleh bersikap manja lagi.

"Aku mulai merasakan hawa panas, Tinker," ujar Ara sembari mengelus tangannya yang tiba-tiba terasa panas. Jujur saja jantungnya berdebar kencang saat ini. Tidak siap untuk menghadapi ganasnya Raja Panas.

"Awasi sekitarmu, Putri."

Ara menuruti perkataan Tinker. Mata gadis itu bergerak gelisah memeriksa keadaan sekitar yang gelap gulita.

Putri Dingin (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang