Enjoy to reading
.
.
."Knock knock!"
Mendengar suara itu, aku langsung menoleh ke arah pintu di mana kepala Alan menyembul. Segera, aku bangkit dari posisi berbaring di karpet dan menghampirinya.
"Alan!" Lalu seluruh tubuh Alan masuk. Aku berlari menghampirinya. "Tumben masih siang udah pulang?"
"Dosennya nggak masuk." Alan menepuk puncak kepalaku pelan. "Makan, yuk."
Aku meraih bungkusan plastik yang diulurkan Alan dan memeriksanya. Gulai ayam! Aku tersenyum lebar padanya. "Telepati kita emang kuat banget, ya. Tahu aja kamu, kalau aku hari ini nggak masak."
Alan hanya tersenyum tipis, lalu duduk di karpet depan televisi. Sebenarnya, mitos tentang kuatnya insting dan telepati-apalah itu tentang kami, masih kuragukan kebenarannya. Karena selama ini, Alan sangat tahu isi hatiku bukan karena insting itu, tapi karena dia memang nyaris mengenalku luar dalam. Seperti sekarang. Dia membelikan gulai ayam karena tahu aku sedang datang bulan dan kalau sudah begitu, akan malas melakukan apapun. Bahkan nasi saja tadi dia yang memasaknya sebelum berangkat ke kampus.
"Siapin."
"Siap!" Aku menaruh dua jari di pelipis, dan segera berlalu ke dapur yang ukurannya sepertiga dapur Louvre.
Kusiapkan gulai ayam ke dalam mangkuk dan menumpuknya bersama dua piring bersih, memindahkan nasi dari rice cooker ke wadah, lalu membawanya ke ruang santai—yang ketika malam berubah jadi tempat tidur Alan karena kamarnya kupakai. Dia tidak mungkin membiarkan gadis kesayangannya tidur tanpa kasur, kan?
"Alan?" Aku mengerutkan kening saat sampai, dan Alan sudah tidak ada di sana. Tasnya juga tidak ada. Dia tidak pergi lagi, kan? Masa tidak–
"Hm?"
Aku menoleh. Alan ternyata keluar dari kamarnya, dan sudah berganti pakaian dengan celana selutut dan kaus pendek warna abu-abu tua. Dia berkali-kali lipat jauh lebih ganteng kalau sedang mode santai begini. Tapi tetap saja, muka dinginnya itu tidak pernah hilang. Nah lihat! Dia bahkan hanya melirikku sekilas, sebelum berlalu ke kamar mandi sempit yang ada di dapur. Aku merengut, mulai menata makanan sekaligus menyendokkan nasi dan gulai ke piring kami.
Aku mendongak saat Alan datang membawa wadah berisi air. Aku menyengir. Baru sadar kalau lupa dengan air kobokan. Alan duduk di sampingku. Aku masih terus memperhatikannya. Wajahnya yang kelihatan segar karena baru dibasuh—masih tersisa titik-titik air di beberapa tempat. Rambutnya yang acak-acakan dan juga basah. Lalu mata tajamnya yang ... eh dia lihat aku!
"Aku kira kamu pergi lagi."
"Nggak pamit?" balasnya.
Aku menyengir, lalu meraih tangannya yang ditaruh di pangkuan. "Jangan ninggalin Icha, yaa."
Alan mengangkat tangan, mengelus alis, lalu melepaskan tangannya yang kugenggam dan mulai makan setelah berdoa dulu. Aku mengikutinya dalam diam. Respon begitu saja sudah cukup. Kebiasaannya saat mengiyakan permintaanku adalah mengelus alis. Entah dari mana kebiasaan itu dia dapat. Dugaanku sampai sekarang sih, karena dia pelit bicara. Padahal bicara tidak akan mengurangi pulsa, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Its Me; A Piece of You (REPOST)
General FictionD'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk me...