Chapter Eighteen

9.2K 1.5K 132
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

Kemarin sore, aku dan Alan pulang. Kebetulan saudara kembarku itu tidak asa kelas hari ini sehingga bisa di rumah seharian. Sangat langka, mengingat bagaimana sibuknya dia mulai semester ini. Aku menatap berbagai hidangan yang tersaji di atas meja. Tidak tahu kenapa, hanya saja Ibu terlihat seniat itu menyambut Pak Gio. Dan karena itu, sejak pulang aku sudah kenyang oleh sindiran-sindiran Budhe. Dia bilang, seorang satpam tidak layak diberi penyambutan sekhusus ini. Untung aku sudah sangat terbiasa.

Aku baru berbalik untuk ke kamar, saat tiba-tiba menemukan keberadaan Gina di hadapanku. Dia menatapku mengejek, terlihat rapi dengan gaun warna biru muda. Sependengaranku tadi, dia memang baru saja pulang dari pergi bersama Reno.

"Satpam beneran?"

"Apa?" balasku.

"Pacarmu." Dia tersenyum miring. "Kamu nggak salah orang? Penampilan dia aja kelihatan preman gitu, lho. Apalagi dua temannya. Luka-luka di muka mereka aja udah jadi bukti kalau mereka suka kekerasan."

"Kamu kan nggak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya aja," balasku.

Dia balas dengan tawa sarkas. "Penampilan itu adalah tolok ukur kualitas seseorang, sepupuku tersayang."

Aku tersenyum kecil. "Berarti prinsip kita yang beda."

"Dan kamu terlalu naif." Dia mengibaskan tangan di depan wajah. "Ya udah, sih. Aku udah baik mau ngingetin, takutnya dia nanti suka main tangan. Kan bahaya kalau habis nikah, kamu kena KDRT."

"Makasih udah ngingetin aku. Tapi, Mas Bara nggak kayak gitu."

"Dari mana kamu tahu?"

"Aku yakin."

"Terserah kamu." Dia tertawa sarkas sambil geleng-geleng kepala, lalu pergi dengan kaki dihentak ke lantai.

Aku tersenyum kecil. Aku memang yakin Pak Gio tidak akan pernah menyakiti fisik maupun batin perempuan. Dia juga pernah mengatakannya bukan? Entah kenapa aku memang percaya dia selalu jujur, kecuali perasaannya yang masih belum bisa kuyakini seratus persen.

"Seyakin itu?"

Aku menoleh, menemukan Alan yang berdiri dengan bahu bersandar di daun pintu. Dari pertanyaannya, dia mendengar obrolanku dengan Gina tadi. Kuanggukkan kepala sambil menyengir. Alan tersenyum miring, kemudian mendekat dan mengacak-acak rambutku.

"Kamu juga. Kenapa bisa seyakin itu ijinin dia deket sama aku?"

Dia memiringkan kepala. "Insting?"

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. "Semacam ... saling tahu karena sesama cowok, ya?"

Alan mengangguk dan aku terkekeh. Meski tetap saja, walaupun Alan yakin, aku tetap saja belum yakin. Padahal dulu saat dengan Reno, aku sudah sangat yakin. Tapi justru Alan yang tidak terlalu yakin, tapi aku terus saja berusaha hingga akhirnya dia luluh. Dan apa yang terjadi? Reno berkhianat dengan sepupuku sendiri. Apa aku memang harus percaya dengan apa yang diyakini Alan?

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang