Chapter Thirty Six

9.5K 1.4K 91
                                    

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Sayang."

Mendengar suara berat itu, aku mengalihkan pandangan dari panci ke arah Mas Bara yang baru keluar dari kamarnya. Dia masih mengenakan sarung dan baju koko, pakaian yang digunakan untuk sholat maghrib tadi. Sedangkan aku baru selesai membuat mi rebus untuk makan malam kami berdua. Hanya ada mi telur dan wortel di kulkas, jadi aku memanfaatkan bahan yang ada saja. 

"Udah matang?"

"Iya." Segera kumatikan kompor dan mengambil lap sebagai lapisan agar tidak panas saat mengangkat panci nanti.

"Biar saya aja." Tiba-tiba, Mas Bara sudah berdiri di sampingku dan merebut lap itu. Kemudian menuangkan isi panci ke dalam mangkuk besar yang sudah kusiapkan di atas meja.

"Makasih," kataku.

"Terima kasih kembali." Mas Bara tersenyum simpul, kemudian duduk di kursi. Dan aku memilih duduk di seberangnya. "Sini aja, Cha, di sebelah saya."

"Nggak mau. Mas Bara udah kayak ustadz pakai sarung koko gini, masa mau sentuh-sentuh Icha?"

"Yakin banget saya sentuh?"

"Emang enggak?"

Mas Bara terbahak. "Udah hafal sekarang kamu ya, sama saya."

"Banget."

Tawa Mas Bara makin keras. Bagaimana tidak hafal, kalau tiap bertemu saja selalu tidak pernah absen kontak fisik entah pegang tangan atau bahkan peluk? Tadi saja dia panik cari-cari saat bangun tidur, padahal aku hanya duduk-duduk di depan rumah atap.

"Sakit nggak, Sayang?"

Aku yang baru memindahkan sebagian mi ke mangkuk kecil, mendongak padanya. "Apanya?"

"Perutnya. Biasanya, Kak Ana sama Nara suka ngeluh sakit kalau hari pertama haid. Kamu sakit nggak?"

Seketika, aku merasakan hangat yang menjalar dari pipi ke telinga. Mas Bara menanyakannya dengan nada bicara dan ekspresi santai, seolah itu wajar. Ayolah, dia kan laki-laki!

"Sayang?"

"E-enggak." Aku meletakkan mangkuk itu di depannya. "Sama sambal kecap nggak?"

"Boleh." Aku segera mendekatkan piring berisi sambal kecap ke dekat mangkuknya. "Beneran nggak sakit?"

"Kadang-kadang aja kalau Icha kecapekan. Tapi sekarang enggak." Aku cemberut menatapnya. "Bisa nggak, jangan bahas itu? Icha kan ... malu."

Mas Bara malah tertawa keras mendengarnya. "Emang salah, ya? Saya khawatir lho, Sayang. Lagian cuma ada kita berdua di sini. Kamu malu sama siapa?"

"Ya sama Mas Bara!"

"Kenapa? Beliin roti Jepang aja saya nggak malu."

"Mas Bara!"

"Oke-oke, maaf, Sayang." Dia menghentikan tawanya. "Jangan ngambek ah. Baru baikan masa ngambek lagi?"

Aku hanya diam dan mengembuskan napas berat. Bagaimana tidak malu? Alan saja yang saudaraku tidak pernah se-frontal itu membahas tamu bulanan padaku. Tapi Mas Bara malah kelihatan enteng sekali. Bukan cuma itu sih yang membuatku malu, tapi karena tadi sore dia yang membelikan pembalut untukku. Ini gara-gara saat akan berwudhu, tiba-tiba aku menemukan noda merah di rok bagian belakang. Padahal aku tidak membawa persediaan di tas. Aku hanya diam di dalam kamar mandi karena bingung. Mas Bara yang khawatir sampai menggedor-gedor pintu. Dengan rasa malu yang menumpuk, aku mengatakan yang sejujurnya.

Setelah itu, Mas Bara berpamitan dari luar kamar mandi untuk pergi ke minimarket terdekat. Dalam waktu singkat, dia kembali dan mengulurkan plastik juga baju bersih tinggalan Kak Ana, melalui celah pintu yang kubuka sedikit. Alangkah terkejutnya aku saat melihat isi plastik itu, yang ternyata adalah pembalut dengan aneka merk dan ukuran. Dari luar pintu, dia hanya bilang tidak tahu aku cocoknya yang mana dan memutuskan membeli semuanya. Aku antara malu, terharu dan mau tertawa.

"Habis ini pulang, ya." Aku berkata, saat kami selesai makan.

"Nggak mau nginap aja?"

"Nggak boleh ya!" Aku menjawab cepat. "Kita belum sah. Pak polisi itu tugasnya grebek, bukan digrebek."

Mas Bara tergelak. "Makanya ayo nikah."

Aku menghela napas, meletakkan gelas yang baru kugunakan untuk minum. Lalu menatapnya yang makan sambil memandangiku. "Mas Bara emang udah siap nikah, ya? Bukan karena teman-teman Mas Bara udah pada nikah? Bukan karena euforia sesaat yang pengen sama-sama Icha?"

Masih menatapku intens, Mas Bara tersenyum tipis. Dia meraih satu tanganku dan menggenggamnya lembut. "Menikah kan bukan karena dikejar umur, Sayang. Bukan juga karena stigma di masyarakat. Juga bukan karena pengen cepat-cepat meresmikan hubungan. Saat saya bilang mau nikahin kamu, artinya saya memang yakin sama apa yang saya katakan. Saya sudah memikirkannya berulang-ulang dan jawabannya tetap sama. Saya siap hidup sama kamu, dengan segala perbedaan kita. Bukan cuma karena sayang dan euforia, tapi karena saya mau kamu."

Aku menelan ludah, mengedipkan mata dengan perlahan. "Icha kekanak-kanakan lho. Labil. Kadang nggak bisa berpikir jernih kalau nggak ada yang ingetin. Perbedaan kita juga banyak banget, terutama soal latar belakang keluarga dan sifat. Mas Bara ... nggak masalah dengan itu?"

"Mas Bara terima semua kelebihan dan kekurangan kamu. Perbedaan memang selalu ada kan? Tapi kita bisa bekerja sama buat ambil jalan tengah. Saya yakin, kita bisa menjalani dan menghadapinya dengan baik."

Aku terdiam. Memutar waktu ke belakang, bukan satu dua kali aku bertanya pada diri sendiri tentang ajakan menikah yang selalu Mas Bara katakan. Entah itu dengan nada serius atau kadang sambil tertawa, aku selalu memikirkannya. Apa aku siap hidup bersama dia selamanya? Apa aku bisa mengimbanginya yang dewasa dalam segala hal terutama umur dan sifat? Sedangkan aku saja masih terpengaruh oleh orang lain dan kadang tidak sabar?

"Nggak usah dipikirin sekarang." Mas Bara meremas jemariku. "Saya cuma mau kamu tahu kalau saya selalu serius. Tapi bukan berarti saya bisa memaksa kamu. Kamu tetap berhak ambil waktu sebanyak mungkin buat berpikir. Yang terpenting, saya mohon jangan pernah berpikir untuk pisah. Sebesar dan seberat apa pun masalah kita, jangan pernah berpikir kalau pisah adalah pilihan terbaik. Paham?"

Aku hanya mengangguk pelan. Membalas senyumnya dengan senyum tipis. Kejadian hari ini membuatku sadar bahwa dia sesabar itu. Mungkin memang emosi awalnya, tapi aku melihat sendiri bagaimana dia mengalah dan dengan sabar memberi pengertian padaku. Dia begitu sempurna tanpa celah. Yang membuatku bersyukur sekaligus makin minder. 

***

Magelang, 06 Oktober 2020

Direpost 12 Januari 2023

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang