Chapter Twelve

9.5K 1.4K 57
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Jadi Abang tuh semalem pulangnya maleem banget. Aku liat tuh, soalnya lagi mau ambil minum di dapur. Terus tadi pagi-pagi banget belum sarapan, udah pergi. Aku kan niatnya mau joging, tapi belok aja masuk mobil Abang. Ngikut, deh. Ternyata mau apelin pacarnya, toh."

Kinara terkikik, sedangkan aku hanya meringis. Pagi tadi aku bangun dalam keadaan malas sekali. Belum lagi mataku yang bengap karena menangis sampai malam. Iya, sebagian penyebabnya karena laki-laki menyebalkan bernama Reno. Tapi sebagian besarnya karena kesal pada diri sendiri. Saking kesalnya, aku sampai tidak berhenti menangis. Zeva yang kutelepon sebagai tempat curhat, nyatanya malah menertawaiku dengan tega. Alan? Dia pulang larut sekali. Aku baru bisa cerita setelah sholat subuh tadi.

Lalu tiba-tiba saat aku kembali berguling-guling malas di kasur, pintu kontrakan diketuk. Kupikir itu Cakka, remaja usil tetangga kontrakan yang tiap pagi sukanya merepoti dengan meminjam barang-barang seperti setrika, gunting kuku, panci, bahkan sendok. Tapi saat aku buka pintu, ternyata dua orang kakak beradik di mana sang kakak adalah penyebabku malu setengah mati. Bagaimana tidak malu? Bisa-bisanya semalam aku diam dan mau-mau saja dipeluk olehnya. Lama, lagi. Ah, gengsiku terjun bebas!

"Tapi Kak Icha beneran udah nggak apa-apa? Mukanya masih pucet lho, tadi. Eh, sekarang malah merah banget!" Tanpa aba-aba, Kinara meletakkan punggung tangannya di dahi dan pipiku. "Anget."

Kulepaskan tangannya sambil tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Nara. Anget kan karena dari tadi aku deket sama oven."

"Emang ngaruh?"

"Bisa jadi, kan?" Aku menyengir.

Ini gara-gara Pak Gio yang ternyata beralasan menjengukku yang sakit, saat ditanya Kinara kenapa pergi pagi-pagi sekali. Itu menurut pengakuan gadis yang sedari tadi menonton pekerjaanku membuat muffin ini. Abangnya sedang di luar, mengangkat telepon entah dari siapa. Iya, setelah sarapan berempat dengan bubur ayam yang dibelikan Pak Gio, kami langsung pergi ke Louvre. Dari kontrakan Alan, karena pada akhirnya aku batal pindahan. Untung Ibu tidak bertanya.

"Kembaran Kak Icha jutek banget, sih."

Mendengar bisikan Kinara, aku terkekeh. Alan yang sedang berkutat dengan laptopnya, juga ikut menoleh. Sebenarnya tadi itu memang tidak bisa dikategorikan bisikan, karena masih terdengar keras.

"Dia baik, kok, sebenarnya."

Kinara mengangguk. "Dia di kampus kelihatan nggak terjangkau, tapi banyak fans."

"Kamu fans-nya?"

"Biasa aja."

"Tapi kok bisa kenal banget?" Iya, tadinya aku agak kaget karena Kinara langsung mengenali Alan di tatapan pertama. Ternyata karena mereka satu kampus, walaupun beda jurusan.

"Gimana nggak kenal? Tiap hari dua temenku ngocehin Kak Alan mulu. Nggak ketinggalan juga ngepoin Instagram-nya."

Sambil tertawa, aku menoleh pada Alan yang duduk di sofa. "Kamu jadi seleb kampus tuh, Lan."

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang