Chapter Twenty Four

9.8K 1.5K 89
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Kok 'oh' doang?" Aku menatap protes pada Alan yang sedang menyantap pie susu cokelat di tangannya.

"Terus?" Dia mengangkat alis, menatapku. Suaranya agak bindeng dan berbeda karena dia sedang flu dan tenggorokannya sedikit sakit.

"Alan mah!" Aku membelokkan potongan pie itu ke mulutku dan mengunyahnya. "Aku udah cerita panjang lebar dan cuma itu jawaban kamu? Kok kejam?"

Alan mendengus. "Lebay."

Aku cemberut, kembali membuka-buka hasil bidikan Alan seminggu ini. Sedangkan dia melanjutkan mengerjakan tugas kuliahnya di laptop. Ini malam Minggu. Kami menghabiskan quality time berdua di kontrakanku. Mau keluar juga malas. Alan kalau sudah banyak tugas suka jutek. Dari tadi saja aku diabaikan dan dia baru mau diajak bicara setelah aku memberinya pie susu cokelat yang kubuat dengan teflon. Maklum sih, di kontrakan hanya bisa menggunakan bahan dan alat seadanya.

"Kamu nggak khawatir, aku udah punya pacar?" tanyaku, sambil menyandarkan punggung di punggung tegapnya.

"Harus?" sahutnya tanpa repot menoleh.

"Ya enggak. Tapi dulu pas aku sama Reno, kamu kelihatan kayak marah dan nggak suka."

"Kan beda."

"Apanya yang beda?" Aku mengerutkan kening. "Oh! Karena Mas Bara udah om-om ya buat aku?"

"Mas Bara?"

"Iya. Sekarang udah bukan Pak Gio lagi, tahu. Tapi Mas Bara!"

"Gaya."

"Biarin!"

Dia berdecak, dan aku hanya terkekeh. Aku teringat hari itu setelah malamnya Mas Bara datang ke rumah, Alan datang pagi buta ke kamarku. Dia kelihatan memelas dan seperti takut mengajakku bicara. Aku tahu dia khawatir aku akan menjauhinya juga. Tapi mana aku bisa? Membuatnya tak nyaman, sama saja dengan membuat hatiku sendiri terluka. Aku sadar, kami adalah dua mata koin yang mustahil akan terpisahkan meski sifat kami berbeda.

"Alan."

"Hm."

"Aku ... bisa nggak ya sama Mas Bara?"

Alan menegakkan punggung, membuat punggungku spontan tegak juga. Dia memutar badan hingga kami saling berhadapan. Tatapannya lurus dan serius.

"Jomplang nggak, ya?" Aku meringis. "Kami kan beda banyak. Umur, pendidikan, latar belakang keluarga, pekerjaan."

"Enggak." Alan mengangkat tangan, merapikan poniku. "Kamu berhak."

"Berhak sama Mas Bara?" Dia mengangguk. "Tapi keluarganya gimana ya? Kalau kayak orang tuanya Reno, aku kayaknya mau langsung nyerah deh."

"Penakut."

Aku cemberut. "Kan emang takut."

"Jangan." Tangannya berubah menjadi usapan di puncak kepala. "Dia baik. Keluarganya pasti juga baik."

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang