Chapter Eight

9.7K 1.3K 142
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

Masa kecil kami tidak jauh beda. Alan sama bandelnya denganku. Sama malasnya soal pelajaran sekolah. Dan sama bebalnya dalam menuruti nasehat Ibu. Kami sangat dekat, melebihi kedekatan kakak beradik pada umumnya.

Hanya saja, dimulai sejak kami umur sembilan tahun, dia berubah. Hal yang saat itu membuatku merasa dia seperti sengaja ingin bersinar di depan semua orang. Sedangkan aku semakin tak berharga di mata keluarga. Aku memang tak pernah mengatakan kegelisahan itu padanya, atau pada orang-orang di rumah. Selain karena masih kecil, aku juga tidak pernah punya kesempatan berbicara di rumah itu. Berbeda dengan Mbak Dita, Gina, maupun Alan sendiri. Yang berhak menyuarakan apapun di hati mereka.

Puncaknya adalah saat kenaikan kelas delapan SMP, itulah waktu di mana aku mengeluarkan semuanya di depan Alan. Penyebabnya? Karena Alan berhasil lolos di kelas akselerasi dengan nilai terbaik di sekolah, dan aku ... tidak naik kelas.

"Kamu sengaja, kan?" tanyaku ketika itu, di hari libur pertama setelah penerimaan buku rapor. Alan menghampiriku yang duduk menyendiri di taman kompleks rumah.

"Apa?" Alan menatapku bingung.

"Kamu sengaja bikin semua orang muji-muji dan banggain kamu, sedangkan aku diejek, dimarahin, dianggap nggak berguna. Kamu sengaja bikin semua orang mikir kalau kamu sempurna, sedangkan aku banyak kurangnya. Kamu jahat, Lan!"

"Icha." Alan menatapku nanar, tapi aku berusaha untuk tidak peduli.

"Kamu mau buktiin kalau saudara kembar itu nggak selalu sama? Kalau hidup itu nggak adil? Kamu menang, Alan. Aku bahkan udah mikir itu dari kita masih SD."

"Icha, aku nggak gitu."

"Kamu gitu!" Aku berteriak di depan mukanya. "Kamu mau nunjukin kalau kamu selalu beruntung sedangkan aku hanya kebagian sialnya. Nggak perlu kamu lihatin, aku udah sadar. Nggak perlu berusaha pun, kamu udah jadi jenius dan jago dalam segalanya. Sedangkan aku harus mati-matian belajar sampai telat tidur, tapi apa? Aku masih bodoh dan bahkan nggak naik kelas."

"Cha, maaf. Aku nggak–"

Aku menepis tangannya kuat-kuat dengan air mata berderai. "Kamu bahkan hanya perlu senyum dan semua orang langsung sayang kamu. Langsung banggain seolah kamu dewa. Tapi aku, berjuang cari perhatian dari kecil dan selalu gagal. Kenapa kita dibedain?"

Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat Alan menangis. Dan aku makin menangis. Marah karena dibeda-bedakan, juga terluka karena menyakiti Alan.

"Kata orang, kita lahir barengan dari perut Ibu. Tapi kenapa aku sama kamu dibedain? Kenapa kamu pintar dan aku bodoh? Kenapa kamu disayang-sayang dan aku selalu dianggap nggak berguna? Kenapa aku harus jadi saudara kamu? Aku nggak suka."

"Icha!" Alan menutup kedua telinga sambil menggeleng.

"Aku benci kamu."

"Jangan."

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang