Enjoy to reading 🥰
.
.
."Enak sekali." Tante Dewi tersenyum lembut, kemudian mengulurkan tangannya yang bebas untuk mengusap pipiku. "Memang gadis hebat."
Tersenyum kikuk, aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Terima kasih, Tante."
Aku dibalas senyum. Lalu bundanya Mas Bara itu kembali menikmati sepotong kue di hadapannya. Pun dengan ketiga anak kecil yang hari ini ikut bersamanya. Tapi hanya Revan dan Reza yang menikmati kue bertabur bubuk teh hijau itu, sedangkan Hani justru tidak menyukai cokelat. Karena itu aku memberinya cheese stik dan cake wortel. Gadis kecil pendiam ini malahan sangat menyukai wortel. Salut sih.
Seusia dia, aku malah tidak suka sayuran satu itu. Salah satu hal yang menjadi alat untuk Budhe mengomeliku. Padahal Gina juga sangat membenci brokoli.
Ngomong-ngomong, Kinara tidak jadi datang hari ini. Dia ada tugas kuliah, katanya. Jadi tadi Tante Dewi diantar Om Ken, sekalian menjemput anak-anak di sekolah mereka. Sementara Mas Bara sudah pergi satu jam sebelum Tante Dewi datang. Dia bilang, harus kembali bertugas.
"Abang gimana? Enggak galak-galak, kan?"
"Enggak kok, Tante. Mas Bara baik banget sama Icha. Nggak emosian juga." Tante Dewi memang tidak keberatan aku memanggil anaknya dengan panggilan Om Iqbal waktu masih muda dulu. Jadi aku tidak merasa sungkan lagi.
"Tapi pernah sedikit tegas yang bikin Icha takut?"
"Pernah sih, Tante."
Aku meringis. Seketika teringat ketika beberapa kali Mas Bara nyaris marah. Saat aku keceplosan soal Reno yang menyakiti fisikku. Saat dia mengetahui Reno membordir pesan padaku. Juga beberapa saat di mana dia bersikap tegas. Tapi tidak emosian juga sih.
"Tapi nggak emosi kok, Tante."
"Syukurlah." Tante Dewi tersenyum lega. "Dari dulu, Abang memang emosian. Tapi Icha nggak usah khawatir. Abang nggak akan marah tanpa sebab, kok. Nggak akan nyakitin fisik juga."
Aku mengangguk. "Iya, Tante. Mas Bara baik, kok."
"Tapi walaupun begitu," Tante Dewi menggenggam tanganku. "Jangan takut buat mengingatkan atau menegur, kalau Abang berbuat salah, ya. Abang juga kadang nggak peka. Tapi kalau ada masalah, apa pun itu, dibicarakan baik-baik ya. Abang nggak akan paham kalau cuma kode-kode gitu."
"Iya, Tante."
"Tante senang, Abang sama gadis hebat dan baik seperti kamu. Padahal kamu masih muda, malah menerima laki-laki dewasa macam Abang. Icha ... nggak dipaksa Abang, kan?"
"Enggak, Tante." Meski sebenarnya Mas Bara setengah memaksa waktu balik mengejarku, tapi aku tidak bisa mengatakan itu pada bundanya kan?
"Gadis hebat." Tante Dewi berbisik lirih. "Mulai sekarang jangan panggil 'Tante', ya? Panggil 'Bunda' aja."
Mataku membelalak. "T-tapi Tante–"
"Icha." Tante Dewi tersenyum lembut. "Icha jadi keluarga Bunda sekarang. Jadi, manggilnya harus sama seperti anak-anak Bunda yang lain. Ya?"
"I-iya." Mataku memanas. "Ma-makasih. Makasih, B-bunda."
Tan—Bunda tersenyum hangat dan menepuk-nepuk punggung tanganku. Aku benar-benar sangat bersyukur. Penerimaan keluarga Mas Bara sangat besar. Tidak pernah terbayangkan, aku akan diterima seperti ini. Karena jujur, salah satu yang kutakutkan setelah mengetahui bahwa Mas Bara bekerja sebagai seorang polisi adalah status sosial dan penerimaan keluarganya. Dibenci oleh keluarga Reno menjadi ketakutan tersendiri untukku.
"Revan, Reza sama Hani mau coba cupcake?" Aku bertanya, ketika piring ketiga anak itu mulai kosong.
"Cupcake, Kakak?" Reza menatapku antusias. "Mau mau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Its Me; A Piece of You (REPOST)
General FictionD'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk me...