Chapter Twenty Nine

10.3K 1.4K 118
                                    

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

pura2 candid dan kalem :*

Caption itu tertulis di bawah sebuah postingan foto gadis seumuran Kinara yang sedang menyampingi kamera. Matanya menatap ke arah lain, seolah foto itu memang diambil diam-diam. Rambutnya diikat setengah dengan poni tipis tersisa menutupi dahi. Kulitnya putih, matanya sipit dan bibirnya tipis. Cantik sekali.

"Lihat apa?"

Aku menoleh pada Mas Bara yang sedang menyetir, kemudian menunjukkan layar ponsel ke arahnya. "Ini siapanya Bang Kevin?"

Mas Bara melirik sekilas. "Itu Tata."

"Tata?" Mas Bara mengangguk. "Yang dijodohin sama Bang Kevin?"

"Iya, Sayang." Dia tersenyum tipis saat aku ber'wah'. "Kenapa?"

"Katanya nolak dijodohin, tapi kok posting fotonya?"

"Nolak kan bukan berarti benci. Kayak dulu Mas Bara nolak kamu, kan aslinya bukan karena benci. Justru karena sayang banget." Dia tergelak saat aku mendengus tapi tetap tersenyum. "Kalau Kevin, dia juga sayang banget sama Tata. Dia kan udah anggap Tata kayak adik sendiri, atau malah anak?" Kami berdua tertawa. "Makanya nggak bisa bayangin kalau rasa sayang dia harus diubah kalau mereka nikah."

"Jadi Bang Kevin tetep nolak?"

"Enggak."

"Loh?" Mataku mengerjap bingung.

"Sekeras apa pun Kevin nolak, ujung-ujungnya bakal bakal sia-sia. Tante Intan itu kalau udah ada kemauan, nggak boleh diganggu gugat. Om Romi juga nggak bisa bantu, soalnya terlalu bucin sama istrinya."

"Kalau Om Iqbal bucin juga nggak?"

Mas Bara bergumam, kemudian menyeringai kecil. "Semua laki-laki di lingkungan saya, kayaknya bucin semua deh."

"Termasuk Mas Bara?"

"Termasuk Mas Bara." Sambil meraih tanganku dan menggenggamnya, ketika mobil berhenti di lampu merah.

"Oh ya, orang tuanya Mas Bara dan para abang itu sahabatan semua ya?"

"Iya, jadi nurun ke anaknya. Nggak tahu juga kenapa anak-anak mereka bisa seumuran gini." Mas Bara tersenyum tipis. "Kamu punya sahabat kecil?"

"Selain Alan?" Mas Bara mengangguk. "Reno."

Mas Bara mendengus keras-keras, yang membuatku refleks tertawa kecil. "Yang cewek nggak ada?"

Aku menggeleng. "Icha pas kecil nggak pernah temenan sama cewek."

"Kenapa?"

"Mungkin karena Icha nggak asyik? Kadang ada beberapa orang tua yang bilang gini 'jangan temenan sama Icha, nanti kamu ketularan bodoh. Temenan sama Gina aja yang pinter.', jadi ya Icha mah sadar diri."

"Sadar diri kalau kamu juga nggak butuh berteman sama anak-anak yang nggak tulus?" Aku tersenyum kecil. Apalagi saat Mas Bara mengecup lembut punggung tanganku. "Terus Zeva? Dan dua temanmu di Louvre?"

"Riska sama Santi kan temenan sama Icha sejak mereka gabung di Louvre. Kalau Zeva, dia itu sebenarnya dari kecil suka bully Icha, tahu."

"Serius?"

Aku mengangguk. "Dari SD dan SMP, kerjasnnya Zeva tuh bully Icha mulu. Nggak bakal puas kalau nggak bikin Icha nangis. Tapi pas SMA, kita malah deket. Mungkin karena sama-sama nggak punya teman kali, ya? Soalnya walaupun pemberani gitu, Zeva juga nggak punya teman."

Mas Bara mengelus pipiku, sebelum kembali mengemudikan mobilnya setelah lampu berubah hijau. "Tapi sekarang dia malah yang kelihatan nggak rela kalau ada yang macem-macemin kamu, ya?"

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang