Seperti biasa, bantu koreksi typo ya karena author satu ini males banget koreksi sendiri 🤧
Enjoy to reading 🥰
.
.
."Nggak gadis pasar juga kali, Bun." Kinara menyeletuk sambil tertawa, setelah Tante Dewi menceritakan tentang pertemuan kami beberapa bulan lalu di pasar.
"Kan ketemunya di pasar."
"Tapi berasanya Kak Icha tuh jadi kuli panggul di pasar, tahu."
"Ya enggak, dong." Tante Dewi tertawa kecil. "Pasar kan konotasinya nggak buruk. Justru di pasar, Bunda bisa ketemu orang-orang sederhana yang mau berdesak-desakan di tempat yang nggak sebersih supermarket tapi nuansa tradisionalnya terasa banget. Di pasar juga, Bunda akan bertemu orang-orang hebat contohnya ya kuli panggul seperti yang kamu bilang tadi. Atau ... Icha, gadis hebatnya Abang?"
"Oh iya, bener. Kalau di supermarket, Bunda nggak akan ketemu Kak Icha ya? Nggak akan berandai-andai juga buat punya mantu sebaik Kak Icha, sampai maksa Abang ke pasar lagi biar ketemu Kak Icha. Eh ternyata si Abang juga lagi ada misi ngejar Kak Icha."
Semua orang tertawa mendengar ucapan Kinara, sementara aku hanya tersenyum setengah meringis. Sejak pertemuan dengan Tante Dewi waktu itu, aku juga sudah sering ke pasar lagi tapi tidak pernah bertemu kembali. Tidak menyangka Tante Dewi akan berharap kami bertemu lagi.
"Mana Abang tahu kalau Icha yang dimaksud Bunda tuh Ichanya Abang?" Kalau tahu gitu mah, Abang ajak Bunda ketemu Icha dari lama."
"Halah, waktu Rafa mau jemput Icha ke sini pas kamu disuruh istirahat di rumah aja, nggak dibolehin," timpal Kak Ana.
Mas Bara mencebikkan bibir. "Nanti Icha sawan kalau deket-deket playboy macam Rafa."
"Bilang aja cemburu." Kinara mencibir. "Dasar posesif."
Semuanya tertawa lagi. Untung ketiga anak kecil yang tadi sudah masuk ke dalam setelah berkenalan denganku, jadi mereka tidak akan penasaran dengan kata-kata orang dewasa seperti 'playboy' dan 'posesif'.
"Ayo sambil diminum dong, Nak." Tante Dewi menatap Mas Bara yang duduk di sebelah kananku. "Ambilin dong, Bang."
"Eh, ng-nggak usah, Tante." Aku menggoyangkan tangan, kemudian menatap Mas Bara. "Icha bisa ambil sendiri nanti."
"Nggak apa-apa, Icha. Ayo, diminum."
"Nggak usah nggak enak sama Abang. Laki-laki ya memang sudah tugasnya meringankan pasangannya. Ya, Bang? A?" Om Iqbal menoleh ke arah anak laki-lakinya dan Om Ken. "Kayak Om ini lho. Ini minum, Bunda."
Tante Dewi tertawa lembut sambil menerima gelas yang diulurkan Om Iqbal. Aku sendiri hanya tersenyum sedikit meringis saat Mas Bara mengikuti gerakan ayahnya. Kugumamkan terima kasih, yang secara refleks dibalas Mas Bara dengan usapan di kepala. Dan aku tersentak karena Kinara yang sedari tadi duduk di sisi kiriku, terbatuk-batuk keras. Tapi jelas sekali kalau dibuat-buat.
"Berasa dielus om-om nggak, Kak?"
"Ha?" Mataku mengerjap, dan itu membuat gadis itu terbahak.
Tapi langsung diam ketika Om Ken memanggilnya dengan lembut tapi ada nada teguran di sana. Ngomong-ngomong, Om Ken ini adalah sepupu Om Iqbal. Sedangkan Kak Ana adalah anak Om Iqbal. Om Ken dan Kak Ana adalah suami istri. Bingung? Sama. Nanti mungkin sepulangnya dari sini aku harus tanya pada Mas Bara. Oh ya, Kak Ana sudah mempunyai dua buah hati yaitu Hani dan Reza. Sedangkan anak laki-laki yang tadi duduk di sisi Om Iqbal, adalah adik bungsu Mas Bara yang bernama Revan. Aku ingat waktu itu Bang Kevin pernah menyebut namanya di rumah sakit.
"Oh ya, kata Abang, kamu juga pernah ikut lomba pastry di Antariksa?" tanya Om Iqbal.
Aku yang baru mengembalikan gelas ke atas meja, lantas mengangguk. "Iya, Om. Sekitar satu tahun lalu."
"Satu tahun?" Om Iqbal kelihatan menerawang. "Oh, yang kebetulan jadi juri itu chef Lucas Smith?"
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, Om. Chef Lucas yang bule tapi ganteng itu. Yang lancar banget bahasa Indonesia!"
Ups!
Meringis, aku melirik semua orang yang mengernyit kemudian terkekeh bersama. Bahkan Mas Bara sudah tergelak sambil menepuk-nepuk kepalaku. Ya Allah, ada yang jual wajah baru? Aku butuh sekali untuk ganti wajahku yang pastinya sudah merah ini. Kok bisa sih, aku keceplosan banyak bicara?
"Ma-maaf, Om."
Om Iqbal langsung tertawa lebar bersama putra sulung yang tidak juga menurunkan tangannya dari kepalaku ini. Rasanya aku mau melotot padanya. Kok dia tidak canggung sentuh-sentuh aku di depan orang tuanya, sih? Tapi jangankan melotot, mengangkat wajah saja aku tidak berani. Malunya itu. Bahkan Om Ken yang kelihatan kalem macam Bang Panji saja ikut tertawa.
"Kamu ngefans sama chef Lucas ya?" tanya Kak Ana sambil tertawa kecil.
Aku meringis. "Soalnya kelihatan jago bikin pastry, Kak."
"Iya, sih. Apalagi bule ya, Cha. Ganteng. Sopan. Ka-" Kak Ana tidak melanjutkan kalimat dan menyengir pada Om Ken yang meliriknya dengan tatapan datar. "Kan cuma muji, A."
"Jangan muji laki-laki lain, Kak." Om Iqbal tertawa santai. "Sudah dibilang kalau si Aa tuh makin tua makin cemburuan."
"Kayak Ayah enggak aja." Mas Bara ikut menimpali.
"Emang Abang enggak?" Tante Dewi mengerling ke arahku. "Abang nggak cemburuan, Cha?"
Mataku mengerjap. Lalu aku mengangguk sambil meringis. "Iya, Tante. Suka kesal kalau Icha ngobrol sama cowok lain."
"Tuh!" Om Iqbal menjentikkan jari. "Sesama pencemburu jangan saling ejek."
Kinara bangkit sambil menyilangkan tangan di depan dada. Kepalanya menggeleng berkali-kali. "Dasar ya kalian cowok-cowok posesif cemburuan. Untung cowok Nara nggak git-"
"NARA!"
"Cowok apaan?!"
"Kamu belum boleh pacaran!"
Kalau bisa, rahangku akan jatuh saat ini juga. Apalagi melihat tiga laki-laki dewasa yang kini sudah berdiri dan menatap tajam ke arah Kinara yang terbahak-bahak.
"Kamu bohongin Ayah?"
"Iya?" Om Ken menimpali pertanyaan Om Iqbal.
"Enggak!" jawab Kinara, masih sambil tertawa keras. "Pacar Nara kan Cha Eun Woo."
"Wah wah wah!" Mas Bara langsung bergerak ingin menangkap adiknya, diikuti Om Iqbal.
Gadis itu berlari kecil dan duduk menyembunyikan tubuhnya di pelukan Om Iqbal. Dua laki-laki beda generasi itu saling menggelitiki Kinara. Mereka tertawa-tawa, sedangkan Tante Dewi menggeleng-gelengkan kepala. Aku tersenyum kecil, tiba-tiba membayangkan aku yang ada di posisi Kinara. Pasti sangat menyenangkan. Sayangnya, semua itu tak mungkin terjadi. Ayahku tak sehumoris Om Iqbal. Ibuku juga tidak pernah bercanda. Keluarga kami berbeda. Dan aku ... bukan Kinara yang mendapatkan kasih sayang semua orang.
"Kayak anak kecil, ya?"
Aku menoleh, menemukan Kak Ana sudah bergeser di sebelahku. Dia terkekeh.
"Seru," kataku.
Lalu Om Ken yang kalem itu tersenyum simpul padaku. "Selamat datang di keluarga kami, Icha gadis hebatnya Abang."
Aku mengangguk sambil menggumamkan terima kasih. Mataku memanas. Apa begini, rasanya diterima?
***
Magelang, 16 September 2020
Direpost 07 Januari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Its Me; A Piece of You (REPOST)
Ficción GeneralD'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk me...