Chapter Thirty

9.5K 1.4K 158
                                    

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

Aku menatap kue tart yang kami siapkan untuk Om Daniel. Angka sembilan belas bukan lilin tapi cokelat yang kami taruh di atasnya. Kata Om Daniel, dia tidak memerlukan lilin. Aku paham, sih. Ada beberapa orang yang kurang suka meniup lilin di hari ulang tahun. Mungkin salah satunya adalah Om Daniel dan anaknya itu.

Aku dan Alan juga, sih. Setiap hari ulang tahun, kami hanya berkumpul dengan semua anggota keluarga kami. Ada kue-yang beberapa tahun terakhir adalah buatanku. Juga berbagai makanan kesukaanku maupun Alan. Tapi hari itu aku selalu merasa itu bukan hariku, karena keberadaan Budhe dan Gina tentunya. Kalau Ayah dan Mbak Dita sih, aku tidak perlu merasa sakit hati. Karena walaupun bersikap datar dan tak acuh, mereka jarang mengatakan hal buruk padaku.

Sedangkan dua orang yang selalu memusuhiku tadi, akan menjadikan hari itu untuk menjabarkan satu demi satu kekurangan dan ketertinggalanku. Dan juga mendetailkan setiap pencapaian yang didapatkan Alan. Intinya, hari ulang tahun tidak seistimewa itu untukku. Kecuali satu hal, yaitu di hari setelahnya ketika Alan akan mengajakku menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan seharian.

"Om Ahjussi datang!"

Aku menoleh, menemukan Riska berdiri di ambang pintu dapur dengan wajah sumringah. Tanpa kuminta, dia mendekat dan membawa kue itu ke depan. Aku hanya menggelengkan kepala sambil berjalan mengikutinya. Di depan, sudah ada Om Daniel yang sedang mengobrol dengan Santi, Zeva dan Alan. Tentu saja dengan Zeva yang paling antusias dan tidak kelihatan mau repot-repot untuk menyembunyikan keterpesonaannya.

"Halo, Om," sapaku ketika sampai di dekat mereka.

Om Daniel yang sedari tadi hanya tersenyum dan tertawa mendengar celotehan Zeva, menoleh. Lalu senyum lebarnya melembut. "Halo, Icha."

"Ini kuenya!" Riska menaruh kue itu di tengah-tengah meja.

"Cantik." Om Daniel kembali tersenyum padaku. "Terima kasih, Icha."

"Sama-sama, Om." Aku menyengir sambil mengambil duduk di sebelah Alan. "Tapi bukan cuma Icha yang bikin. Santi juga."

"Oh ya? Terima kasih juga, Santi."

"Sama-sama, Om."

Om Daniel kelihatan tampan dan dewasa, seperti biasanya. Malam ini ia memakai kemeja abu-abu dibalut jas hitam. Terlihat kasual dan resmi secara bersamaan. Walaupun sudah berkepala empat, tapi Om Daniel seperti memiliki daya tarik sendiri. Bukan berarti aku naksir, hanya saja siapa pun pasti akan setuju dengan pendapat bahwa orang asli Korea ini begitu memesona. Tapi kedatangannya yang hanya sendiri, membuatku aneh. Bukan hanya aku saja, karena kami semua saling berpandangan.

"Sergio?"

Aku meringis. "Nggak bisa datang, Om. Lagi ada tugas. Titip salam aja, katanya. Maaf ya, Om."

Om Daniel mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa."

"Anak Om Ahjussi yang ultah hari ini belum datang ya?" Zeva menyuarakan yang ada di hatiku.

Lagipula, dari tadi Zeva bicara apa saja? Kok dia belum menanyakan hal yang justru penting di sini? Heran aku. Dan kenapa senyum Om Daniel jadi luntur dan berganti tipis sekali?

"Dia tidak di sini." Om Daniel mengedipkan matanya dengan pelan, kemudian tersenyum menatapku. "Tidak apa-apa bukan, jika kita saja?"

Aku mengangguk kaku, diikuti yang lain. Meski sebenarnya cukup penasaran, tapi aku tidak punya kapasitas untuk bertanya lebih jauh. Mungkin memang anak Om Daniel sedang sibuk.

"Kalau gitu, titip selamat ulang tahun dari kami ya buat anaknya Om Daniel."

Om Daniel tersenyum tipis menanggapi ucapan Riska. Tapi entah kenapa aku melihat sekilas matanya berubah sendu. Dan dia hanya berkata, "Terima kasih."

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang