Chapter Fourty

13.4K 1.4K 88
                                    

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Kamu ... baik-baik saja?"

Pertanyaan yang diucapkan dengan nada penuh kekhawatiran itu membuat sesuatu yang sedari tadi kutahan, langsung meledak. Air mataku mengalir dengan deras, akumulasi dari rasa sesak akibat marah dan takut.

"Wah, siapa lagi ini, Icha?" Reno bangkit sambil menatap kami dengan menyeringai. "Sugar daddy kamu?"

"Jangan sembarangan bicara, kamu!" Aku menatapnya tajam sambil mengusap kasar pipi yang basah. "Om Daniel bukan orang kayak gitu!"

"Oh ya?" Reno menatapku remeh. "Berarti kamu dong yang murahan? Pertama sama polisi sialan itu, lalu cowok lain lagi, tadi bahkan kamu sama penyanyi itu kan? Dan dia," Reno menunjuk Om Daniel yang berdiri kaku di sebelahku. "Aku bahkan beberapa kali lihat kamu dekat sama dia. Kamu dekat sama banyak laki-laki yang jauh lebih tua. Kenapa kamu jadi murahan bang–"

"Berhenti bicara omong kosong." Om Daniel menyahut dengan nada dingin yang baru kali ini terdengar di telingaku. "Sebelum saya benar-benar tidak bisa mengontrol emosi."

Reno malah tertawa. "Anda siapa, kalau begitu? Icha sudah punya pacar. Jadi Anda siapa? Selingkuhannya?"

Aku melihat Om Daniel makin kelihatan marah. "Kamu ingin tahu saya siapa? Saya a–"

"Tetap pada batasanmu, Reno."

Kalimat Om Daniel terpotong begitu saja. Suara datar itu membuatku tersentak, menoleh cepat pada seseorang yang baru saja datang itu. Mataku membulat.

"A-ayah...." Sama sekali aku tidak menyangka jika akan ada Ayah di sini. Tapi melihat wajah Om Daniel yang biasa saja dan seperti tidak terkejut, aku mulai menebak jika mereka berdua memang bertemu di kafe ini.

Ayah tidak melirikku sedikit pun. Hanya menatap datar Reno yang kelihatan kaget, tapi bisa dengan cepat mengontrol ekspresinya. "Kamu tidak ingat kata-kata saya waktu itu? Urusi hidupmu sendiri."

"Aku ingat, Om." Reno menjawab pelan. "Karena itu aku menemui Icha. Karena urusan hidupku masih ada hubungannya dengan Icha."

Mataku terbelalak. Reno ini kurang waras atau bagaimana? Kenapa aku bisa ada hubungan dengan urusan hidupnya?

"Kamu tidak ada hubungan apa-apa dengan dia." Entah kenapa, aku merasakan dingin pada nada bicara Ayah.

"Kami saling mencintai, Om."

"Enggak!" Aku menggeleng kuat. "Aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu!"

"Kita bahkan pernah jadi kekasih!" balas Reno.

"Itu dulu. Sebelum kamu selingkuh sama Gin–" Kata-kataku tertelan lagi di tenggorokan. Lidahku kelu. Kulirik Ayah dengan takut-takut. Bagaimana bisa aku kelepasan bicara? Kenapa aku lupa kalau Ayah tidak mengetahui hubunganku dulu dengan Reno? "A-ayah...."

"Icha!"

Kami serentak menoleh ke asal suara. Terlihat Bang Kevin dan Bang Panji berjalan tergesa ke arahku.

"Kamu nggak apa-apa, kan? Kenapa lama?" Bang Kevin men-scan tubuhku. Lalu pandangannya berhenti di pergelangan tanganku. "Ini kenapa?"

"Ada apa?" Bang Panji ikut mendekat.

"Ini." Bang Kevin meraih dan menunjukkan pergelangan tanganku yang masih menampakkan bekas merah. "Siapa yang ngelakuin ini?"

Masih dengan tenggorokan tercekat, aku melirik ke arah Reno yang kelihatan terperangah. Aku bisa mendengar umpatan lirih Bang Panji sebelum dia langsung maju dan melayangkan pukulan pada rahang Reno. Yang langsung dibalas hal yang sama oleh Reno. Dan Bang Panji menyeret Reno menyingkir dari tempat itu.

"Bang Kevin, itu pisahin," kataku panik.

Bang Kevin menggeleng. "Si berengsek itu pantes dapet pelajaran."

"Tapi mereka berantem, Bang."

"Ya memang harus gitu." Lalu menatap pergelangan tanganku. "Sakit, nggak? Mau diobatin?"

Belum juga aku menjawab, Om Daniel sudah menyerobot. "Ayo kita obati, Icha."

"Anda siapa?" Bang Kevin menatap Om Daniel menyelidik.

"Saya Daniel." Om Daniel mengulurkan tangan. "A—pelanggan di toko roti Icha."

Bang Kevin mengangguk dan membalas jabat tangan Om Daniel. Lalu melirik ke arah Ayah, membuatku langsung memberitahu.

"Ini ayahnya Icha, Bang." Aku menggigit bibir, menoleh pada Ayah. "Ayah, ini Bang Kevin. Temannya Mas Bara."

"Kevin, Om."

"Hendra." Tanpa kusangka, Ayah melirikku singkat. "Ayo pulang."

"Icha biar bersama saya." Aku mengerutkan kening mendengar suara dingin Om Daniel. Dia menatap Ayah dengan aneh. "Saya akan antar pulang."

"Tidak," balas Ayah datar. "Pulang, Icha."

Sejujurnya, aku terkejut. Baru kali ini Ayah mengajakku pulang bersama. Meski wajah dan nada bicaranya tetap datar, tapi aku paham kalau dia tidak ingin kubantah. Jadi yang kulakukan adalah tersenyum kecil pada Om Daniel dan Bang Kevin.

"Om, Bang, Icha pulang sama Ayah."

Bang Kevin mengangguk. "Entar gue tonjok si Gio, karena malah ngurusin tugas."

"Jangan. Kan emang udah kerjaannya."

"Halah bucin," cibir Bang Kevin. "Udah sana. Entar di rumah, itu diobatin pakai salep memar. Emang cuma merah, tapi takut kenapa-kenapa."

"Iya, Bang." Aku beralih menatap Om Daniel. "Om, Icha pulang duluan. Makasih tadi udah nolongin Icha."

Om Daniel tersenyum lembut. "Lain kali, langsung teriak minta tolong, ya. Dan itu diobati tangannya. Dikompres dengan air hangat dulu sebelum diberi salep."

Aku mengangguk. Pamit sekali lagi pada mereķa dan segera mengikuti Ayah yang melangkah lebih dulu. Aku kembali ke meja tadi dan berpamitan pada semuanya, sebelum berbalik keluar dari kafe. Kemudian menyusul Ayah yang sudah masuk ke dalam mobil. Kemudian kami meninggalkan pelataran kafe dan bergabung bersama kendaraan-kendaraan lain di jalan raya.

Semobil berdua dengan Ayah? Aku tidak pernah membayangkan. Sejak kecil, bisa dihitung jari aku pergi bersama Ayah. Biasanya itu jika Ayah akan mengantar Alan pergi ke suatu tempat, di mana aku juga ikut pergi ke tempat itu. Atau kadang dengan Ibu. Kalau berdua seperti ini, rasanya aneh. Canggung, lebih tepatnya. Apalagi ketika ingat, tadi keceplosan tentang hubunganku dulu dengan Reno. Apa yang dipikirkan Ayah? Apa yang nanti akan dia lakukan? Apa nanti Ayah akan menceritakan itu pada Budhe? Bagaimana ini?

"A-ayah." Aku meremas tangan, saat Ayah hanya melirikku. Berdehem pelan, aku berkata, "S-soal ... soal Icha sama Ren–"

"Jangan bahas."

Aku mengerjapkan mata. "Ayah?"

Ayah menoleh singkat, sebelum kembali memandangi jalanan. "Jangan dekat-dekat dia lagi. Dan jangan bahas soal hubungan kalian dulu."

"Ayah ... tahu kalau dulu Icha sama–"

Ayah mengangguk dan berdehem, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimat. Melihat wajahnya yang kelihatan dingin dan terselip emosi, membuatku mengunci mulut sendiri. Aku takut Ayah makin marah jika aku sampai bertingkah atau bertanya-tanya lagi. Hanya saja, aku berharap Ayah tidak menceritakan tentang kejadian tadi pada orang rumah. Selain tidak ingin membuat Ibu khawatir, aku juga malas berurusan dengan kemurkaan Budhe dan Gina.

Dan soal Mas Bara, aku yakin teman-temannya sudah memberitahu dia. Semoga dia tidak melakukan hal buruk yang nanti berimbas pada pekerjaannya sebagai polisi. Aku percaya, Mas Bara pasti bisa bersikap dewasa.

***

Magelang, 27 Oktober 2020

Direpost 21 Januari 2023

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang