Enjoy to reading 🥰
.
.
.Rumah besar berlantai dua ini adalah peninggalan almarhum Kakek. Aku tidak ingat sosok beliau, karena memang beliau meninggal saat usiaku dan Alan baru dua tahun. Anak Kakek dan Nenek hanya dua; Ayah dan Budhe Risna. Dulu katanya, hanya keluarga Ayah yang tinggal di rumah ini. Tapi sejak suami Budhe meninggal sembilan belas tahun lalu, dia dan Gina disuruh Nenek tinggal bersama kami juga. Apalagi sampai sekarang, kakak perempuan Ayah itu memang sampai sekarang masih mengelola toserba milik Nenek. Jadilah, rumah ini selalu ramai karena banyak penghuninya.
Sayangnya, rumah ramai tidak lantas menciptakan sebuah kebersamaan yang harmonis. Setidaknya, aku tidak merasakan itu. Sejak kecil, aku sudah menyadari aura mendominasi yang ditunjukkannya. Entah mulai dari kapan, dia jadi bersikap seolah pemimpin di rumah ini. Dia seolah paling berhak mengatur segala hal yang terjadi di dalam keluarga kami. Bahkan mendidik anak-anak Ayah—Mbak Dita, aku dan Alan, hak penuh seakan ada di tangannya.
Dan yang membuatku heran, Ayah selalu tunduk padanya. Ibu yang penurut dengan Ayah, akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan dulu saat aku mencuri dengar Alan yang memohon agar Ibu meminta Budhe untuk tidak selalu memojokkanku, Ibu tidak merespon. Pada akhirnya, kediktatoran Budhe berimbas ke aku. Karena hanya aku satu-satunya yang seolah dilimpahi kebencian olehnya. Entah apa sebabnya.
"Cha."
Aku yang sedang membalut potongan pisang dengan adonan roti goreng di dapur, menoleh ke arah pintu. Di sana, ada Alan yang berdiri kikuk. Kuulas senyum tipis, kemudian memintanya mendekat dengan isyarat tangan. Dia mendekat dan duduk di sebelahku. Kesayanganku ini kelihatan ganteng seperti biasa, dengan kaus polo dan celana training panjang.
"Udah selesai emang?"
Dia mengangguk, menatapku ragu. Kalau begini, Zeva pasti bisa melihat betapa imutnya Alan kalau sedang bersikap sebagaimana adik, karena tatapan takut-takutnya. Iya, karena biasanya dia selalu ingin menjadi kakak, dan aku harus bersikap sebagai adiknya. Padahal lahirnya lebih dulu aku, kan?
"Aku bantu."
"Boleh banget!" Aku tersenyum riang, membiarkannya membantu pekerjaanku.
Sejujurnya, aku memang lumayan lelah membuat lebih dari empat ratus buah roti goreng tanpa bantuan siapa pun. Ibu dan Bu Lina pergi ke pasar dari pagi, berbelanja bahan masakan untuk jamuan acara empat puluh hari Nenek nanti malam. Budhe mengatur tempat acara di depan. Lalu Alan dan Ayah bertindak menuruti semua intruksi Budhe. Gina? Entahlah. Dia sudah pergi sejak pagi tadi.
Semua orang dibantu, tapi aku hanya sendiri. Ini bahkan aku baru selesai membuat adonan, dan mulai membalutkannya ke potongan pisang. Ah, lama-lama mungkin keluarga ini menganggapku punya posisi yang sama dengan Bu Lina. Atau mungkin lebih rendah? Setidaknya, mereka selalu ramah pada asisten yang sudah bekerja di sini lebih dari tiga puluh tahun itu.
"Gimana?"
Aku menyengir saat Alan ditanya begitu. "Ini lho yang isi cokelat, adonan dibikin gepeng gini terus diisi selai cokelat. Udah gitu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Its Me; A Piece of You (REPOST)
General FictionD'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk me...