Enjoy to reading 🥰
.
.
.Aku sudah menduga, pengakuan mempunyai pacar seorang satpam akan jadi topik pembicaraan semua orang. Maksudnya, hanya Budhe dan Gina—dengan kepuasan tercetak di wajah mereka. Alan, Ayah dan Mbak Dita tentu hanya diam. Yeah, apa yang bisa diharapkan dari ketiga orang datar itu? Berkomentar? Tentu tidak mungkin. Berbicara panjang saja mereka jarang. Hanya Ibu yang malam itu masuk kamarku dan menanyakan kebenarannya. Kemudian memperingatkan agar aku harus tetap berhati-hati. Cukup itu saja, dan aku sudah merasa senang.
"Eh Ris, itu mobil kodok punya siapa?"
Aku sedikit terkejut saat sampai di Louvre, melihat mobil kodok berwarna hijau lumit terparkir di depan. Iya sih, walaupun sudah jarang dan langka, tidak menutup kemungkinan mobil seperti itu dimiliki lebih dari dua orang berbeda. Tapi tetap saja, aku langsung teringat laki-laki yang katanya teman Ayah itu.
"Punya orang yang duduk di pojok itu, Cha, deket jendela." Sayangnya yang ditunjuk Riska hanya kelihatan punggungnya saja karena posisi duduknya membelakangi etalase.
"Ganteng lho, Cha. Mirip ahjussi-ahjussi gitu." Riska menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Senyumnya apalagi. Gula banget, euy!"
Aku tertawa geli. "Baru juga lihat pertama kali."
"Eh bukan pertama, tahu. Dia udah empat hari berturut-turut ke sini. Ya sore-sore gini juga. Duduk gitu aja terus, ngelamun. Pesennya juga sama terus, red velvet sama cokelat panas. Lagi galau kali, ya?"
"Sok tahu."
"Insting, sis." Riska menaik-turunkan kedua alis. "Eh, gue puter lagu galau ah."
Aku hanya berdecak sambil geleng-geleng kepala melihat Riska benar-benar memutar lagu Say Something di aplikasi pemutar musik yang disambungkan ke pengeras suara di pojok ruangan. Kami memang sering menyetel lagu setiap harinya, atas usulan Zeva. Biar suasananya makin mantap, kata dia. Pengeras suara portable itu pun diberikan cuma-cuma oleh abangnya.
Aku sih cuma duduk di belakang etalase, menunggu pembeli atau melayani pengunjung yang akan membayar. Hari ini tidak ada pesanan, jadi kami cukup santai. Hanya saja, setelah makan siang tadi, aku pergi menjenguk pemilik toko bahan kue yang habis menjalani operasi usus buntu. Memang tidak wajib sih, tapi selain menjadi pelanggan, orang itu juga merupakan tetanggaku dulu. Jadi rasanya tidak enak kalau tidak menjenguk. Lagipula, orangnya sangat ramah dan bersahabat.
"Permisi."
Aku mendongak. Pria berkardigan biru dongker pemilik mobil kodok, sudah berdiri menjulang di depan etalase. Karena Riska sedang melayani pembeli yang baru datang, maka ini giliranku.
"Bisakah saya minta bill-nya?"
"Oh, tentu. Tunggu sebentar, Pak." Segera kuperiksa catatan yang ditinggalkan Riska dan menghitungnya. Lalu setelah itu, aku memberikannya tak lupa dengan mengulas senyum. "Semuanya delapan puluh lima ribu."
"Oh, baik. Tunggu sebentar."
Sembari menunggu pria itu mengeluarkan uang, aku tak sadar jika terus memperhatikannya. Mata yang lumayan sipit. Hidung mancung. Alis tebal. Dan bibir tipis. Usianya mungkin sekitar empat puluh lebih sedikit. Setuju sih, kalau Riska bilang mirip ahjussi-ahjussi di drama Korea.
"Ini, ya."
Dan senyumnya ... wow. Walaupun tidak terlalu lebar, tapi kelihatan manis sekali.
"Kembaliannya diambil saja." Dia tersenyum lagi.
"Oh. Terima kasih." Kenapa aku tersenyum gugup? "Terima kasih banyak sudah mengunjungi kedai kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Its Me; A Piece of You (REPOST)
Fiksi UmumD'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha dulu suka Bara. Naksir berat. Icha bahkan rela menyimpan harga diri di gudang Louvre hanya untuk me...