Chapter Seven

10.7K 1.3K 56
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Jalan satu-satunya dari permasalahan ini adalah terima."

Aku menatapnya protes. "Masa terima? Dia itu kelihatan kayak psikopat yang siap cincang-cincang aku kapan aja. Walaupun sekarang bisa senyum dan bercanda, tapi aku ngeri. Kalau pas jadi Mas Bara kan walaupun dingin dan galak, tapi enak gitu auranya. Heran deh. Masa Kak Agnes berani sih temenan sama dia dari lahir?"

"Halah, lebay."

Aku cemberut. "Aku ini lagi ketakutan lho, Zev. Kok dibilang lebay?"

"Karena lo ketakutannya sambil terpesona. Mata lo pasti jelalatan liatin muka sama badan dia yang tambah wow pas pakai jaket polisi." Dia menatapku penuh sekali dengan ejekan. "Yakin gue."

Masa, sih? Memang benar ya tadi aku begitu? Perasaan biasa saja, deh. Aku kan cuma fokus dengan usaha biar lepas dari Pak Gio. Tapi ... memang dia makin ganteng sih. Apalagi gaya rambutnya yang beda sekali dan jauh lebih segar dibanding dengan saat masih jadi Mas Bara. Badannya sih ... sudah gagah dari sananya, bahkan walaupun hanya pakai kaus singlet saja. Eh jangan mikir macam-macam. Aku hanya pernah melihatnya dulu, saat buang sampah di tong dekat rumah kontrakanku, kok.

"Gue nggak ngerti sama lo."

Aku menoleh. Zeva sudah meletakkan ponsel yang sedari tadi dia mainkan sambil bicara denganku. Sekarang, tatapannya benar-benar fokus ke arahku.

"Kenapa harus sekeras ini ngehindar dari dia? Sebulan lo bahkan sampai ngungsi ke kontrakan Alan."

"Zev, kamu kan tahu, bukan itu alasan utamaku tinggal sama Alan."

Zeva memutar bola matanya. "Nenangin diri. Sekaligus ... lari dari kenyataan kalau om-om yang selama ini lo taksir itu bukan satpam."

"Yang pertama jelas paling utama, Zev." Aku mengunyah cookies cokelat di dalam toples yang sedari tadi kupeluk.

"Ya ya ya." Bola matanya berotasi lagi. "Dua minggu meninggalnya nenek lo, ketenangan itu udah lo dapat. Tapi lo justru takut semisal balik ke Louvre, lo ketemu satpam gadungan itu."

"Zev–"

"Nggak usah bantah. Gue paling nggak suka kalau lo lagi bohongin diri sendiri." Dia mendelik. "Dan yang paling parah, gue benciii banget kalau lo selalu melihara semua ocehan sepupu cabe-cabean itu, ke otak lo yang bahkan nggak seberapa ukurannya."

Aku menelan ludah. Zeva kini sudah berdiri sambil berkacak pinggang. Dia menatapku lelah dan marah.

"Berapa ribu kali sih gue ngomong gini? Tapi lo nggak pernah sekalii aja masukin ke kepala dan hati lo. Omongan toxic gitu, kalau lo telen terus-terusan, bakal bikin sengsara hidup lo." Zeva berdecak. "Bahkan dari jauh-jauh hari gue gatel pengen ngomong gini, tapi cowok kesayangan lo itu yang dengan bajingannya larang-larang. Emang dia siapa sampai gue harus nurut?"

Aku memandangi toples kaca di pangkuan, dengan mata memanas. Zeva benar. Apapun yang selalu Gina ucapkan, akan jadi racun untuk hidupku. Tapi aku juga tidak bisa menghilangkannya dari kepala. Karena setiap kali aku memikirkannya, saat itu juga aku sadar bahwa itu benar. Semua itu memang sebuah kebenaran.

"Nggak usah nangis." Zeva berkata tegas. Aku mengusap sudut mata yang basah. "Gimana pun, lo harusnya paham kalau gue nggak akan pernah bisa biarin lo tersiksa sama rasa insecure kayak gini. Alan bisa nurutin semua isi pikiran lo, tapi gue enggak. Lo harusnya buka mata dan keluar dengan berani, bukannya malah jadi pengecut yang selalu ngumpet di ketek Alan. Itu namanya lo bener-bener bego!"

"Zevania!"

Aku terlonjak. Begitu pun Zeva, yang langsung menoleh ke belakang di mana ada Alan yang sudah berdiri di ambang pintu lantai dua dengan wajah marah. Juga Riska dan Santi, menatapku khawatir di belakangnya.

"A-alan...." Aku bangkit mendekat, memegangi kepalan tangan Alan yang mengeras.

Tapi tatapan Alan terhunus ke arah Zeva. Begitu pun sebaliknya. "Beraninya kamu."

"Apa?" Zeva mendongak dan berhenti di hadapan Alan, dengan tatapan berani. "Nggak ada yang salah dengan semua omongan gue. Icha lo ini, harus paham kalau nggak selamanya dia bisa berlindung dari dunia palsu yang selama ini lo ciptain. Dia harus bangun dan nggak jadi pengecut. Karena pada kenyataannya, lo punya andil besar dalam kondisi dia yang kayak gini."

"Zeva."

"Lo dengan bangganya liatin ke semua orang di dunia ini bahwa seorang Alantra Mahendra itu hebat dalam segala hal. Jenius. Anak akselerasi. Jago olahraga. Mandiri. Nggak nyusahin orang tua. Calon dokter. Dewasa."

"Ze-va."

"Tapi kenyataannya enggak!" Aku terpekik saat Zeva berteriak, menunjuk dada Alan yang kembang kempis karena amarah. "Semakin lo tunjukin kehebatan lo, semakin Icha ngerasa bukan siapa-siapa. Lo punya andil terbesar, Alan."

"Berhenti."

"Bahkan dia sampai ketakutan karena naksir polisi, itu karena lo. Karena lo yang dipuja-puja dan bikin dia makin ngerendahin diri sendiri. Itu karena lo, Alan. Karena lo!"

"BERHENTI ZEVANIA!" Alan berteriak makin keras sambil menutup kedua telinganya.

"Lan." Aku tak peduli lagi air mata yang makin menderas dan isak yang makin keras. Kupeluk Alan yang kini menggelengkan kepala berkali-kali. "A-lan."

Alan membalas pelukanku. Dia kecupi sisi kiri kepalaku dalam-dalam. "Aku sayang kamu."

"A...lan."

"Aku sayang kamu."

"Iya."

Kepalaku dikecup lagi. "Aku ... sayang kamu."

Aku mengangguk kuat-kuat, tapi tak bisa bersuara karena terhalang tangis. Dalam pandanganku yang buram, aku bisa melihat Zeva mematung. Aku tahu dia baru sadar. Dia baru paham bahwa semua ucapannya membuat Alan kacau. Bahkan hanya mengucapkan bahwa dia tidak bermaksud menyakitiku saja, Alan tak mampu. Yang dia racaukan hanya kalimat menyayangiku saja.

"Sayang kamu."

Zeva tidak salah. Semua yang dia katakan tentangku memang benar. Aku selalu kalah dengan olok-olok Gina. Aku lebih nyaman menjadi pengecut dan berlindung di tempurung yang selalu diciptakan Alan untukku. Aku mempercayai bahwa seorang Danisha Maharani memang bukan siapa-siapa. Tak pantas untuk diinginkan.

Tapi Alan tidak salah. Dia berhak membuat dirinya sendiri makin bersinar. Tak peduli sinar itu justru semakin membuatku pudar dan tak berarti apa-apa. Tapi sekali lagi, bukan salahnya. Karena pada kenyataannya, dia menyayangiku lebih dari apapun. Dia, tidak akan pernah berniat menyakitiku.

Aku dengan semua rasa insecure yang terus tumbuh. Dan Alan, dengan kepercayaan bahwa dia menyayangiku dengan besar dan sempurna. Dan dia akan kacau, jika ada setitik saja noda dalam rasa sayangnya. Dia akan menyalahkan diri sendiri.

Kami ... sama-sama sakit.

***

Kalian paham nggak sih dengan kondisi yang coba aku jelasin di part ini?

Magelang, 21 Juli 2020

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang