Chapter Five

11K 1.5K 51
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

"Kamu masih di kontrakan Alan?"

Aku menghela napas mendengar pertanyaan Ibu di seberang sana. Kutatap Santi yang sedang membuat fla untuk toping pie coklat, menggantikan tugasku. "Masih."

"Jangan gitu dong, Cha. Pindah secepatnya."

"Kenapa sih, Bu? Kan nggak dosa juga."

Ibu terdiam selama sepersekian detik sebelum akhirnya berkata, "Jangan nyusahin Alan. Dia udah capek sama kuliah dan kerja. Jangan tambahin dengan kerepotan ngurusin kamu."

"Tapi Bu–"

"Ini konsekuensi kamu waktu memilih tinggal jauh dari rumah. Konsisten dong, Icha. Ibu nggak suka ya kamu jadi begini. Kamu harus bertanggung jawab dengan apapun yang jadi keputusan kamu. Termasuk soal toko. Kamu udah balik kerja lagi, kan?"

"Iya, udah."

"Bagus. Dan mulai besok, jangan tinggal di kontrakan Alan."

Aku mendesah. "Bu...."

"Icha!" Ibu mulai meninggikan suara, membuat bibirku terkatup rapat. "Ibu nggak mau kamu nyusahin Alan, ya. Alan juga bakal repot kalau tiap pagi anter kamu ke toko dengan jarak sejauh itu. Jangan buat Ibu menyesal melahirkan dan merawat kamu sampai sebesar ini, kalau nyatanya kamu nggak bisa belajar dewasa!"

"Ibu lebih sayang Alan ya, daripada Icha?" tanyaku, dalam hati.

Ya, aku tidak mungkin berani menyuarakan pertanyaan itu. Tidak, meskipun itu bermaksud bercanda atau benar-benar serius. Dan meskipun ini hanya prasangka, atau aku sungguhan merasakan itu. Hal terakhir yang paling kuinginkan, adalah menghadapi kemarahan Ibu. Cukup sekali saja, empat tahun lalu.

Waktu itu, aku agak kesal karena Ibu membiarkan Budhe Risna terus-terusan memojokkanku. Kakak tertua Ayah itu selalu mengolok-olok dan membanding-bandingkan aku dengan orang-orang yang katanya lebih hebat dan berguna. Dan seringnya yang paling terkuat sebagai pembanding, adalah Alantra Mahendra. Itu adalah hal yang sangat memuakkan untukku. Meski sampai kapan pun, dia tidak pernah bisa untuk kubenci. Karena Alan adalah satu-satunya yang tak pernah merendahkanku.

Hari itu aku memberanikan diri menanyakan rasa sayang Ibu. Apakah wanita yang melahirkanku dua puluh tahun lalu itu, lebih condong ke Alan daripada Danisha Maharani? Dan aku mendapatkan sebuah hadiah tamparan darinya. Juga didiamkan berhari-hari. Hatiku sakit saat itu, tapi tak bisa apa-apa. Apalagi, aku memang sadar telah melakukan kesalahan. Ibu pasti merasa terluka karena pertanyaanku itu.  Ditambah, semua orang terus menyalahkanku. Terutama Mbak Dita, Budhe Risna, Gina, bahkan Ayah. Hanya Nenek dan Alan yang menasehatiku dengan lembut tanpa memojokkan.

Sejak itu, aku jera. Setelah meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi, aku tidak lagi mempertanyakan segala hal yang berkaitan dengan kasih sayang Ibu, Ayah, maupun semua orang yang tinggal di rumah besar Nenek. Aku terus diam dan menerima semua sikap tak bersahabat mereka yang tidak kutahu sebabnya. Walaupun di dalam hati, aku bertekad untuk keluar dari rumah itu. Bukan pergi, tapi menjaga jarak.

Its Me; A Piece of You (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang