05. Dia Orangnya?

5.8K 500 8
                                    

'Bagaimana bisa melupakan, jika masalalu saja selalu dibahas di pelajaran sejarah.'

_Anindia Putri_

—happy reading—


🌸🌸🌸


"Bolos?" Suara berat dan dingin terdengar menakutkan bagi kedua orang yang berada di dalam kelas tersebut.

Semua orang menoleh ke arah sumber suara, ralat mereka berdua. Suaranya seperti familiar, siapa lagi yang memiliki suara dingin bak es kutub diantara mereka kalo bukan Rifki.

"Sumpah kaget gue anjir!" oceh Bagas.

Rifki menaikkan satu alisnya "Kenapa?"

"Kinipi!" ejek Bagas. "astoge nih bocah! pake tanya 'kenapa' lagi, ya jelaslah gue kaget! Suara lo itu mirip sama suara Pak Copor, kan bisa mati gue kalo ketauan beliau gue bolos lagi," cerocos Bagas yang menekan kata 'kenapa'.

Pak Copor yg dimaksud mereka adalah guru kimia yang terkenal killer seantero sekolah. Namanya itu Pak Imran, tapi karena kepalanya botak di tengah hingga siswa-siswa lucnut memanggilnya dengan sebutan Pak Copor, seperti mereka contohnya. Bagusnya lagi panggilan 'Pak Copor' itu tidak sampai terdengar di telinga pak Imran. Jika iya, bisa mampus mereka yang memulai memanggil panggilan tersebut.

"Oh," balas Rifki singkat.

"Etdah, gue ngomong panjang kali lebar kali tinggi cuma dijawab oh, sikitnyi tih dibsini bing," ucap Bagas mendramatis sambil memegang dada kirinya seolah sesak.

"Jijik."

"Najis."

Ucap Rifki dan Kelvin tidak kompak.

"Terus lo ngapain? kalo bukan bolos juga peak!" tanya Kelvin sambil menyilangkan tanganny di depan dada.

"Lo telat?" tambah Bagas mengunyah permen babel yang barusan ia temukan di saku depan baju seragamnya dan matanya juga menangkap tas ransel Rifki masih bertenger di bahu kanan empunya tas.

"Menurut lo?" Rifki bertanya datar dan setelahnya mengeluarkan ponsel di saku celananya.

"Sumpah ya, Ki! Muka lo itu datar bener kayak tembok. Sampe pengen gue hias sangkin gemesnya! Untung temen!" kesal Bagas mencak-mencak sendiri.

"Lo akui dia teman, Ki? Kalo gue sih ... ogah!" imbuh Kelvin bercanda.

"Ogah gue ngakui dia temen, malu-maluin!" jawab Rifki santai.

"Kok kalean jahad seh sama dedek, salah dedek apa, Mas. Hiks ... hiks ...." Bagas mendramatis dengan nangis dibuat-buat dan memperagakan pukulan ala cewe menggunakan kedua tangan ke arah Kelvin yang berada di sampingnya.

"Diem gak lo!" ucap Kelvin yang membuat Bagas menyengir tanpa dosa.

🌸🌸🌸

Kring... Kring...

Bel pulang sekolah menggema di seluruh antero sekolah, semua siswa siswi berhambur keluar kelas. Nisa dan pasukan kelasnya yang sedari tadi menahan kantuk langsung kembali segar setelah meminum lasegar yang ada badaknya. Ralat, setelah mendengar suara bagai surga versi siswa siswi itu. Pasalnya guru yang menjelaskan tentang pelajaran sejarah sedari tadi seperti sedang mendonggen tidur.

"Alhamdulillah ya Allah, kelar juga akhirnya," syukur Putri lirih yang sedari tadi tak berhenti menatap jam dinding yang seperti bergerak sangat lambat.

"Iya, sumpah gue ngantuk berat banget. Gawat kalo tertidur, bisa disuruh menjelaskan sejarah-sejarah dulu lagi tanpa lihat buku," omel Rena nyaris berbisik sambil membereskan buku-bukunya di atas meja.

"Tadi terasa lama banget waktu berjalan," timpal Nisa yang tak mau kalah menyampaikan kejenuhannya.

"Iya heran deh gue, masa lalu kok di bahas. Harusnya kan gak usah di ungkit-ungkit lagi. Sakit tau, rasanya mambuka luka lama kembali hadir," omel Putri mendramatis dengan muka yang seolah dibuat sendu.

"Itu beda konsep lagi Jamilah, dasar bucin!"

Putri hanya menyengir kuda. Setelah guru sejarah mereka pamit dan keluar kelas terlebih dahulu. Tidak lama, disusul mereka yang berjalan keluar kelas. Di sepanjang koridor mereka melihat masih banyak siswa siswi SMA nya yang belum pulang, ada yang exskul, kerja kelompok, nunggu jemputan, dan masih banyak lagi aktivitas lainnya.

🌸🌸🌸

Nisa berjalan menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Saat sedang asik memutar-mutar kunci mobil di jari, matanya tidak sengaja menangkap motor yang seperti tidak asing baginya. Penasaran, akhirnya Nisa memilih meneliti lebih dekat motor tersebut. Setelah ia melihat nomor platnya, ternyata benar dugaannya, motor itu adalah motor yang sama yang menabrak mobilnya tadi pagi.

'Ini kan motor  pemilik muka tembok, oh ternyata dia sekolah di sini juga,' batin Nisa.

"Hmm."

Nisa terlonjak kaget, ia seperti sedang terciduk akan membegal motor ini. Pasalnya ia sedang menunduk mengamati bagian depan motor tersebut untuk melihat lebih jelas bekas lecet habis menabrak tadi.

"LO!" pekik Nisa setelah berdiri dan menoleh ke arah pemilik suara deheman itu. "lo sekolah di sini!" ucap Nisa jutek sambil bersedikap dada, dia tau dari seragam sekolah yang mereka kenakan sama. Padahal pagi tadi pria ini memakai hoodie hitam.

"Kenapa?" sahut Rifki dingin.

'Pake tanya kenapa, emang ya dasar nih anak gak punya rasa bersalah, sama sekali,' batin Nisa.

'Eh bukannya dia yang ada di foto itu ya dan namanya sama juga," batin Rifki melihat nametag di seragam Nisa sekilas. 'oh jadi ini anaknya yang mau dijodohkan sama gue. cantik sih tapi ketus,' batin Rifki.

Hening

Baik Nisa maupun Rifki sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing, hingga akhirnya Rifki yang lebih dulu tertarik ke alam sadarnya.

"Mingir," usir Rifki kepada Nisa yang diam berdiri disamping motornya.

Nisa sedikit tersentak, tapi ia langsung merubah ekspresi datarnya kembali. "Gak! lo harus tanggung jawab."

Rifki menaikan satu alisnya, "Tanggung jawab? Lo hamil?"

Mata Nisa langsung membulat dengan mulut sedikit menganga. "Mulut lo gak di sekolahin hah! Cepat ganti rugi soal mobil gue yang lo tabrak tadi pagi," kesal Nisa sekaligus melengkapi ucapannya tadi.

"Oh itu mobil lo? Gak sopan berhenti sembarangan."

"Gue gak berhenti sembarangan! Lo gak liat apa tadi itu lampu merah! Lo aja yang bawa motornya gak bener sampe nabrak! Emang lo pikir jalanan itu punya nenek moyang lo!" cerocos Nisa panjang, baru kali ini Nisa ngomong panjang sama orang yang tidak ia kenali, aneh.

'Ternyata cerewet juga ni anak,' batin Rifki.

Rifki pun menunjukkan senyum smirknya, lalu menggeser sedikit bahu Nisa untuk menjauh dari motornya. Setelah itu dia melenggang pergi dengan motornya, meninggalkan Nisa yang mematung karena yang mendapat gerakan di bahunya tadi.

"KURANG AJAR LO, BERANI NYENTUH GUE," teriak Nisa setelah menyadari punggung Rifki yang kian menjauh dari pandangannya.

Ditengah-tengah mengendaranya, Rifki masig dapat mendengar teriakan seorang gadis bernama Annisa. Lalu ia tersenyum tipis, sangat tipis.

'Manis,' batin Rifki.

***

Dapet gak sih feel ceritanya?

Jangan lupa follow akun aku ya:'(, sedih tau, karna ini cerita pertamanya aku. Selama ini cuman ikut baca aja, belom berani mau publish cerita sendiri. Padahal aku termasuk orang yang suka menghalu, hehe

Jangan lupa vote and komeny yaww:)

Salam manis dari penulis😄

The Gray Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang