15. Sifat Tersembunyi

4K 365 7
                                    

"Nama gue Rifki, jangan diubah. Wajar gue gak noleh saat dipanggil."
___Muhammad Rifki Mahendra___

-Happy Reading-

🌸🌸🌸

"Mau pesan apa, tuan?" Seorang waiter perempuan restoran ini berdiri di dekat kursi duduk Rifki dengan membawa note book ditangannya.

"Susu coklat panas. Makannya samain aja," ucap Rifki mengedikkan dagunya ke arah Nisa.

"Es lemon dan chicken steak, sama pindang daging plus nasi ya," ucap Nisa dengan pandangan masih ke arah buku menu. "air mineral juga."

"Baik, saya ulang. Susu coklat panas satu, es lemon satu, air mineral satu, chicken steak dan pindang daging plus nasi dua."

"Chicken steak dan air mineral saja yang dua," ralat Rifki, dia tidak pernah menduga jika Nisa akan makan sebanyak itu.

"Baik, mohon ditunggu nona, tuan," ucap waiter restoran tersebut.

Rifki dan Nisa hanya membalas dengan anggukan saja. Setelah waiter itu berlalu meninggalkan mereka, terjadi keheningan beberapa saat, meskipun sebenarnya restoran yang mereka kunjungi sedang ramai.

Nisa jengah karena suasana yang awkward ini. Meskipun sebenarnya dia tipikal yang hampir mirip sama Rifki, tapi itu hanya berlaku untuk orang asing. Dan entah kenapa dia tidak menunjukkan sifat itu ketika bersama Rifki. Sebaliknya, sifat judesnya lah yang keluar. Akhirnya Nisa memilih membuka suara.

"Kulkas," panggil Nisa.

Nisa menatap Rifki intens, yang ditatap malah tidak menunjukkan gerakan akan mendongak sama sekali. Karena fokus Rifki sekarang masih menatap ponsel yang berada di kuasanya.

"Es kutub."

"Muka tembok."

Nisa menghela napas kesal, ia jengah karena tidak mendapat respon.

"Ck, lo budeg ya!" pekik Nisa emosi diiringi pukulan meja yang menimbulkan bunyi tidak terlalu keras, tetapi dapat menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitar mereka.

Rifki mendongak. Ia menatap sekitar mereka. Aman, orang-orang sudah fokus sama kegiatan mereka kembali. Lalu ia menatap ke arah Nisa. Dengan satu alis yang terangkat dan punggung yang ia sandarkan di kursi. Rifki menatap datar Nisa.

"Siapa? Gue?" tanya Rifki santai.

"Bukan!" Nisa menunjuk ke arah luar kaca yang tembus pandang. "Noh mbah yang berada di perempatan jalan!"

"Oh." Rifki berniat membuka ponselnya kembali yang tadi ia sempat taruh di meja.

"Lo ya, ih ... nyebelin!"

Dengan posisi yang masih menunduk menatap ponsel, Rifki mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sebenarnya ia tau, kekesalan Nisa berawal dari mana. Tapi ia memilih untuk tidak menanggapi panggilan yang tidak asing untuknya lagi.

"Iya. Gue tau gue ganteng."

Nisa mendelik, kemudian memasang muka seolah ingin muntah. "Uwek, jijik gue! By the way, gue gak ada ngomong lo ganteng ya!"

"Itu barusan," ucap Rifki dengan suara yang terdengar songong di telinga Nisa.

"Gak denger, gak denger, gue pake kacamata." Nisa menutup telinganya sebentar.

Terdapat jeda beberapa saat, hingga menimbulkan keheningan kembali.

"Ki," panggilnya lagi, kali ini dengan wajah serius.

The Gray Love✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang