Part 18

4.5K 371 3
                                    


Happy Reading😙

"Masih kurang nggak peralatan dekornya?" tanya Kiya.

Sudah sekitar satu jam mereka membahas keperluan dekorasi. Masjid berasa kayak pasar karena mereka berlima. Lebih tepatnya berenam karena Gus Altaf masih mengawasi mereka dipojok ruangan.

"Sini aku lihat!!" jawab Ashfa dan Hafiz bersamaan dan tanpa sengaja tangan mereka berdua bersentuhan saat ingin mengambil kertas yang ada dimeja pendek depan mereka.

Dengan cepat keduanya menarik tangan masing-masing.

"Afwan" ucap Hafiz berusaha setenang mungkin. Ini jantung kenapa sih? Batinnya dalam hati.

"I.. Iya gak papa" jawab Ashfa gugup. Kiya !! Tangan aku dipegang pangeran !!

"Kamu duluan" ucap Hafiz.

"Nggak,, kamu aja" jawab Ashfa.

Sementara Kiya, Ihsan dan Leo hanya saling pandang.

"Sini biar i'm teliti" ucap Ihsan mengambil kertas daftarnya.

"Nggak! Biar gue aja." Hafiz merebut kertas yang dipegang oleh Ihsan.

"Yaelahhh... Giliran gue nggak boleh. Gimana sih?" gerutu Ihsan kesal.

"Kalo yang neliti lo yang ada malah rusak semua" jawab Hafiz santai.

"Sebahagia lo"

"Kalian tuh bisa nggak sih? nggak usah ribut?" ucap Kiya meresa jengkel dengan sikap mereka bertiga.

"Kalo nggak ribut nggak seru" jawab Ihsan.

"Lo kali yang sering ngajak gue ribut" ucap Hafiz.

"Gue kan humoris" jawab Ihsan.

"Humoris mbah mu" timpal Leo.

"Sudah-sudah lagian kalian kok pake Lo-Gue sih disini?" tanya Kiya.

"Lah kenapa emang?" tanya Leo balik.

"Ini kan pesantren"

Hafiz mengernyitkan dahi, "Ya terus."

Kiya menggaruk kepalanya, "Ya.. Ya kurang lembut aja gitu" jawab Kiya asal.

"Oh lo mau dilembutin? Dibelakang pondok sana ada penggilingan padi" jawab Ihsan tanpa dosa.

Hafiz dan Leo menjitak kepala Ihsan bergantian.

"Lo kalo ngomong bisa serius nggak?" tanya Leo geram.

Ihsan hanya cengengesan tak jelas, "Nggak"

"Udah biasa pakai Lo-Gue" jawab Hafiz singkat.

Kiya hanya mengangguk. Dingin amat nih bocah? Batinnya.

^Δ^

Sebuah banner besar terpampang jelas diatas panggung yang sudah dihiasi oleh sekian rangkaian bunga. Tampak para santri berlalu lalang mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk acara besok malam. Ya hari ini sampai lusa pondok diliburkan untuk mempersiapkan acara ultah ponpes.

Kiya berdiri disamping meja dekat panggung. Ia tampak sibuk menghitung hasil kerja tim dekorasi.

"Bagaimana? Ada yang kurang?"

Kiya sedikit terkejut dan menoleh.

"Sebentar kayaknya kita perlu tanya ke gus'e dulu" jawab Kiya.

"Oke.. Ada yang perlu aku bantu?" tawar Hafiz.

Kiya mengetuk dagunya dengan satu jari telunjuknya, "Emmm.. Mungkin kamu bisa ajak teman-teman kamu untuk memasang hordeng" jawab Kiya.

Tanpa menjawab Hafiz langsung begitu saja meninggalkan Kiya. Kiya sudah hafal dengan sifat Hafiz yang memang tak suka banyak bicara.

Gus Altaf berjalan menuju tempat kegiatan. Satu hal yang ia tuju yaitu tempat dimana Kiya sedang berdiri. Fahri dan Fadjar yang tengah mengikutinya dibelakang hanya sesekali tersenyum dan saling pandang.

Gus Altaf memakai kaos hitam polos tak lupa sarungnya yang sedikit bercorak. Untuk beberapa detik Kiya tak lepas memandang Gusnya. Pecinya yang sengaja ia pakai sedikit kebelangkang menambah jelas terlihat ketampanannya.

"Assalamualaikum" salam Gus Altaf.

"Waalaikumsalam warahmatullah" jawab Kiya sedikit khawatir kalau saja Gus Altaf tahu kalau ia tengah memperhatikannya.

"Sendiri?" tanya Gus Altaf.

"Eh? Enggak gus kan jenengan disini" jawab Kiya polos.

Gus Altaf mengernyitkan dahinya lalu tersenyum tipis karena tingkah Kiya yang menurutnya sedikit lucu.

"Jadi.. Bagaimana gus? Masih ada yang kurang?" tanya Kiya.

"Sebentar." Gus Altaf menatap kesekeliling memperhatikan setiap sudut ruangan. Lalu berjalan melihat satu persatu hasil kerja para santri.

Fahri berjalan mendekati Kiya yang tanpa jeda memandang Gus Altaf.

"Ekhmmm"

Kiya menoleh kesampingnya, "Kakak kenapa? Batuk?"

"Segitunya ngelihatin Gus Altaf" goda Fahri.

"Ishh siapa sih yang lihatin Gus Altaf" kilah Kiya. Pipinya telah terasa panas.

"Beruntung kamu Kiya" celetuk Fahri memandang lurus kedepan.

Kiya mengernyitkan dahinya bingung, "Beruntung kenapa?"

Fahri tersenyum tipis, "Nggak... Nggak papa"

Kiya berdecak sebal, "Aishh kak Fahri mah, nggak asik" gerutu Kiya.

Fahri hanya tersenyum dan mengacak-acak puncak kepala Kiya lalu pergi begitu saja.

Beruntung karena Gus Altaf juga menyimpan rasa tanpa kamu menyadarinya, batin Fahri.

Sementara Kiya hanya menggerutu tak jelas karena ulah Fahri.




📝Wonogiri, 16 Juli 2020

ADZKIYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang