Selesai acara perpisahan, aula masih dipenuhi oleh ribuan santri juga para wali. Semua penuh dengan raut bahagia juga bercampur sedih. Namun jika dilihat masih banyak sedihnya daripada bahagianya. Beberapa santri saling berpelukan. Karena tinggal menunggu jam sebentar lagi mereka akan berpisah. Dan entah kapan mereka akan bertemu kembali.
"Jangan lupain aku ya." Ashfa memeluk Kiya erat dengan tangisnya.
"Gak bakalan." Kiya membalas pelukan Kiya tak kalah kuat.
Hari ini, adalah hari dimana memori enam tahun yang lalu seakan diputar kembali. Dibawah langit Darul Muttaqin seribu cerita terukir. Antara cinta, tangis, senang, sedih dan semua rasa.
Hari ini, adalah hari dimana ribuan hati terasa sesak dililit tali. Tak siap pergi dan tak siap kehilangan. Atau lebih tepatnya tak siap untuk rindu. Bagi mereka sudah seperti keluarga.
Kiya menghampiri Abinya dengan mata sembab. Dan memeluk serta mencium tangan Abinya.
"Selamat ya sayang, dan ingat, jangan pernah puas atas ilmu yang kamu dapat" ucap Amir.
"Iya Abi. Kiya akan semakin giat belajar lagi setelah ini" jawab Kiya.
"Assalamualaikum"
Kiya dan Amir menoleh. "Waalaikumsalam"
Gus Altaf yang baru saja datang langsung mencium tangan Amir.
"Nggak mampir dulu ke ndalem om? Eh abi?" tanya Gus Altaf.
"Lain kali aja. Sekarang mau prepare barang-barang Kiya" jawab Amir ramah.
Gus Altaf mengangguk dan menoleh kearah Kiya. "Selamat ya untuk kelulusannya"
Kiya tersenyum. "Makasih Gus"
"Hmm. Kirain nggak lulus" celetuk Gus Altaf yang langsung membuat Kiya mendelik kesal.
Amir hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat keduanya.
"Assalamualaikum om" ucap seorang Gus yang sangat periang. Siapa lagi kalah bukan Gus Adzar.
"Eh.. Waalaikumsalam" jawab Amir. "Gus Adzar ya?"
"Ehehe iya om. Udah kenal aja sama Gus ganteng ini" ucap Gus Adzar pede.
Amir tertawa kecil. "Eh jangan panggil om dong. Panggil pak atau abi aja"
"Kalau pak nggak cocok. Yaudah deh panggil Abi aja. Sekalian latihan" canda Gus Adzar yang langsung ditatap tidak suka oleh Gus Altaf.
"Ada-ada saja sampean ini Gus" ucap Amir.
Gus Adzar menggaruk kepalanya. "Eh Kiya.. Selamat ya"
"Iya gus makasih"
"Kalau gitu kita kesana dulu Bi" ucap Gus Altaf menarik tangan Gus Adzar.
Amir dan Kiya mengangguk. Kiya masih memandang punggung tegap Gus Altaf yang menjauh darinya. Baju putih polos dengan sorban yang selalu menggantung dilehernya itu adalah ciri khas Gus Altaf yang Kiya sangat hafal.
"Ambil barang-barang kamu. Kita pulang sekarang" ucap Amir membuyarkan lamunan Kiya.
Kiya segera menuju kamarnya. Dan menggendong tas berukuran sedang serta menarik sebuah koper warna silvernya. Sampai dikoridor ia menghentikan langkahnya sebentar dan menengok kearah bangku taman tempat ia dan Gus Altaf duduk kemarin.
Ia segera melanjutkan kembali langkahnya sebelum menetes sebulir bening dimatanya.
"Pulang yah!" pinta Kiya.
"Sebentar.. Kamu masuk ke mobil dulu. Ayah mau kerumah Kyai dulu"
Kiya segera memasukan satu persatu barangnya kedalam mobil. Ia melihat kesekeliling banyak juga teman seangkatannya juga membawa barang-barangnya.
Lima belas menit berlalu Abinya belum juga datang. Kiya memilih untuk masuk kedalam mobil. Baru saja ia ingin menutup kaca namun ada tangan yang menahannya.
Kiya menoleh terlihat Gus Altaf tengah memegang kaca pintu mobil disamping Kiya. Satu hal yang berbeda. Sorot mata Gus Altaf menatapnya penuh arti.
"Hati-hati" ucap Gus Altaf.
"Eh.. Gus!" Ucapan Kiya menahan Gus Altaf yang hendak pergi.
"Kenapa?"
"Emm... Gus kapan balik ke Kairo?"
"Lusa mungkin"
"Oh.. Kalo gitu semangat ya Gus belajarnya" ucap Kiya.
***
Kiya membuka pintu rumahnya. Koper dan tasnya dibelakang dibawa oleh ayahnya. Ia menuju ruang tengah. Dengan jalan gontai ia menghampiri Umi Asyifa yang tengah menonton tv.
"Assalamualaikum umi." Kiya duduk disamping Umi Asyifa dan mencium tangannya.
"Kok mukanya nggak bersemangat?" tanya Umi Asyi memerhatikan wajah putrinya.
"Masa sih?" kilah Kiya mencoba memperbaiki raut muka.
Umi Asyi menarik kepala Kiya lembut dan mendekapnya. "Kenapa sayang?"
"Kenapa apanya umi?" elak Kiya. "Kiya nggak kenapa-napa kok"
"Yaudah kalo gitu kamu istirahat kekamar aja. Mungkin kecapekan"
"Iya umi"
Kiya menaiki tangga rumahnya dan membuka pintu kamarnya. Kamar yang didominasi warna abu-abu seperti warna favoritnya. Ia menuju ke kursi belajarnya, terasa dingin karena beberapa bulan kamar ini tidak ditempati.
Umi Asyi bukanlah ibu yang sangat kepo dengan sesuatu yang menyangkut putrinya. Terbukti saat ini tatanan kamar tak ubah, masih sama seperti saat ia berangkat ke pondok dulu.
Kiya beranjak mengambil ponsel yang berada di laci meja dan mengelapnya. Berdebu? Tentu saja. Setelah beberapa menit mengutak-atik benda pipih itu Kiya merasa bosan dan melemparnya keatas kasur.
Tangan kanannya terulur membuka tas dibawahnya. Dan mengambil sebuah buku. Pelan, ia mengusap sampul buku berwarna putih itu.
"Merindukan seseorang...." celetuk Kiya. "Dosa nggak sih...?"
"Tergantung cara kita menyikapi rindu itu"
Kiya terlonjak kaget dan menatap kearah pintu. Umi Asyi membawa segelas susu diatas nampan dengan tersenyum.
"Eh umi" ucap Kiya kikuk.
Umi Asyi meletakan segelas susu yang ia bawa ke atas meja. Lalu menarik kursi dan duduk disamping Kiya.
"Anak umi rindu sama siapa emangnya?"
"Eh.. Emm..." Gugup yang Kiya rasakan saat ini.
"Siapa sih?"
"Nggak ada kok" kilah Kiya.
"Iyadeh gak pa-pa kalau nggak mau cerita" ucap Umi Asyi mengerti. "Yang jelas dekatkan dengan pemilik rindu, itu sih saran umi"
Umi Asyi beranjak keluar dari kamar Kiya. Sementara Kiya masih diam ditempat.
Mampus! Ketauan! Batinnya.
Hi.. Hello.. I'm back😪
Kalo dipikir-pikir semakin kesini semakin gak jelas😵
So, maaf segala ketidak jelasan🤧
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen yak😘
Menuju ending ya guys😌See you next part😘❤❤❤
Wonogiri, 5 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ADZKIYA (Selesai)
Teen FictionBerhubung ini cerita pertama dan gak jelas banget. Mohon kerjasamanya untuk memberi kritik yang membangun🙏 Warning : Typo bertebaran. Salah pengetikan nama. Alur yang bikin bingung.