Part 20

4.9K 372 1
                                    


Happy reading❤


Suara sound system telah menggema keras sejak ba'da isya'. Aula ulang tahun ponpes Darul Muttaqin tampak begitu megah. Dengan sekian rangkaian bunga-bunga ditambah dengan beberapa lampu kecil menghiasi tiap sudutnya.

Kyai Shadiq sudah sejak tadi sibuk menyalami tamu undangan. Ya dalam acara ini telah mengundang Kyai dari beberapa ponpes luar daerah. Ning Arifa juga membantu jalannya kegiatan dengan mengatur warga sekitar ponpes yang turut hadir. Ribuan santri telah berdatangan memenuhi tempat acara.

Kiya tengah duduk sambil memegang gitarnya. Yang kebetulan samping panggung tertutupi oleh bayang-bayang membuatnya sedikit susah terlihat dari kerumunan orang didepannya.

"Gak usah tegang" ucap Ashfa yang tiba-tiba duduk disampingnya.

"Aku nggak tegang cuma takut aja"

"Aelah,, btw lihat deh Bu Nyai sama Ning arifa." Kiya mengikuti arah tunjuk Ashfa.

"Mereka akrab banget ya" ucap Ashfa lagi.

Kiya menghela nafas pelan, "Hmm. Itu yang disamping Ning Arifa siapa?"

"Ohh,, itu Nyai Fatimah"

Kiya mengernyitkan dahinya, "Siapa?"

"Uminya Ning Arifa"

Kiya mengangguk mengerti. Dan menatap kebersamaan mereka bertiga dengan sedikit sesak. Terlihat Nyai Halimah bercanda ria dengan Ning Arifa dan uminya.

"Ki.. Kiya!!" ucap Ashfa mengguncang pundak Ashfa.

"Emm kenapa?"

"Kamu ngapain ngelihat nyai sampai segitunya?"

"Nggak papa, cuma ngerasa ketampar aja" jawab Kiya.

"Ketampar? Maksudnya?"

"Gak papa." Kiya kembali menatap kearah panggung. Membiarkan Ashfa yang masih kebingungan untuk mencerna ucapa Kiya.

Tertampar dengan kenyataan. Karena tak seharusnya ia berharap. Bagaimanapun juga bagi Kiya perbedaan sosial itu jelas ada dan ia tau batasan.

Cek cek

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh"

Suara salam dari Ustad Muaz membuka acara ultah malam ini. Yang tadinya sedikit riuh kini hening seketika mendengarkan pembukaan Ustad Muaz. Sekitar 15 menit pembukaan ditambah pembacaan serangkaian acara selesai. Dan kini memasuki acara sambutan yang akan disampaikan oleh Gus Altaf.

Skip.

Selesai menyampaikan beberapa kata sambutan Gus Altaf kembali turun dari panggung melewati tempat Kiya duduk. Mau tidak mau Kiya harus menunduk tanda menghormatinya sebagai anak Kyai. Sebenarnya Kiya sudah merasa sangat gugup tapi ia mencoba setenang mungkin. Toh Gus Altaf juga cuma lewat sebentar. Pikirnya.

Namun bertolak dengan perkiraan Kiya. Gus Altaf berhenti tepat didepan Kiya duduk. Dan jangan tanyakan bagaimana perasaan Kiya saat ini.

Kiya mengangkat wajahnya menatap Gus Altaf yang berdiri tegap didepannya. Gus Altaf  masih memandang Kiya. Jangan ditiru ya..!!
Dan saat ini Kiya merasa gerogi dan risih tentunya. Dengan sekuat tenaga Kiya berusaha setenang mungkin. Okay, calm down Kiya !!

Kiya mencoba mengumpulkan keberaniannya, "Gus Altaf ngapain disini?"

"Kenapa? Nggak boleh?" tanya Gus Altaf menaikan satu alisnya.

Dalam hati Kiya menggerutu kesal. Itu alis kenapa sih? Pengen aku cakar apa?. Batin Kiya.

"Ya bukannya gitu" jawab Kiya.

"Ya terus?"

Kiya menghela napas kesal, "Nggak papa"

Gus Altaf tersenyum senang sekali lihat wajah kesal Kiya.

"Pegang gitar? Nanti mau tampil?" tanya Gus Altaf.

"Iya gus"

"Nyanyi lagu apa?"

"Anal Islam"

"Sendiri?" tanya Gus Altaf menengok kesekeliling.

"Nggak tadi sama Ashfa"

"Kalau tampil diatas jangan bagus-bagus ya" ucap Gus Altaf.

"Kenapa?" tanya Kiya bingung.

"Takut banyak yang ngelirik" ucap Gus Altaf lalu pergi begitu saja.

Kiya menatap kepergian Gus Altaf cengo. Apa dia bilang? Bisa diulang?

Ashfa yang baru saja dari toilet kembali duduk disamping Kiya.

"Gus Altaf udah selesai ya sambutannya?" tanya Ashfa kecewa.

"Udah dari tadi kali. Kamu sih kelamaan ketoiletnya"

"Yahhh.."

"Biasa aja kali" ucap Kiya sementara Ashfa menatapnya kesal.

Gus Altaf kembali duduk disamping Gus Alyas dan Gus Adzar. Dibaris kedua dari depan dibelakang kyai-kyai sepuh. Gus Altaf memutar bola matanya malas menatap Gus Adzar sudah menatap dirinya dengan raut wajah yang sudah menggambarkan banyak pertanyaan. Gus Altaf duduk tepat ditengah dua Gus tersebut.

"Kok lama banget?" tanya Gus Adzar kepo.

Loh kan bener. Batin Gus Altaf.

"Kepo" jawab Gus Altaf.

"Gaya mu rahasia-rahasiaan" kesal Gus Adzar.

Gus Altaf menatap Gus Adzar dengan senyum. Membuat Gus Adzar menatapnya kebingungan.

"Eheheh ngapain senyam-senyum? Kesambet?" tanya Gus Adzar panik.

Gus Altaf berdecak. Bisa darah tinggi kalau deket gus kocak bin aneh satu ini.

"Ntar dengerin. Ane nanti mau pentas" ucap Gus Altaf.

Gus Adzar tertawa, "Mau buat malu diri sendiri?"

"Aku serius" jawab Gus Altaf kesal.

"Iyadeh, aku siap siaga jaga-jaga"

Gus Altaf mengernyitkan dahinya, "Jaga-jaga?"

"Iya nanti kalau ada beberapa kaca pesantren yang pecah" jawab Gus Adzar tertawa keras membuat beberapa kyai didepannya menoleh.

"Sttt.. Terserah" jawab Gus Altaf.

"Kaca pecah masih mending asal jangan sampai negrobohin panggung" ucap Gus Alyas membuat Gus Adzar kembali tertawa.

Gus Altaf merasa kesal. Mungkin tadi ia tidak usah duduk disamping Gus Adzar.

Gus Alyas menghentikan tawanya. "Nggak salah kamu mau nyanyi?" tanya Gus Alyas kepo. Gus Altaf mengangguk.

"Tumben banget?"

"Buat orang spesial" jawab Gus Altaf membuat Gus Alyas dan Gus Adzar bertukar pandang.

"Ning Arifa?" tebak Gus Adzar.

Gus Altaf menghela nafas, "Jangan ngawur"

"Atau jangan-jangan_" Gus Adzar menggantungkan ucapanya.

Gus Altaf mencubit keras lengan Gus Adzar. Membuat sang empu meringis kesakitan.

"Nggak usah nebak-nebak" ucap Gus Altaf.

Gus Altaf menatap datar keatas panggung. Sementara Gus Alyas hanya geleng-geleng kepala melihat kedua adik sepupunya. Tak bisa dipungkiri Gus Alyas juga merasa ingin tahu dengan ucapan Gus Altaf.






Wonogiri, 23 Juli 2020

ADZKIYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang