"Aku benar-benar membenci manusia bernama Kim Jeni."
" … "
"Kenapa Tuhan menciptakan manusia seperti dia di dunia yang membosankan ini?"
" … "
"Kau lihat ukuran dadanya, Sehun? Kenapa bisa sebesar buah melon?"
"Eng...." Sehun menggaruk belakang kepala, sepertinya dia kebingungan menjawab pertanyaanku.
"Kau lihat hidungnya yang mirip buah jambu monyet itu? Aku yakin sekali dia sudah memberi banyak suntikan di wajahnya?"
"Emb...."
"Atau mungkin dia tanam benang?"
"Aku tidak...."
"Apa jangan-jangan dia operasi plastik? Atau mungkin...."
"Sshh...."
Aku sontak berhenti bicara karena Sehun menaruh jari telunjuknya tepat di bibirku.
"Diam, ya? Sudah cukup kamu membicarakan perempuan jadi-jadian itu."
"Pfftt...." Aku terkekeh geli mendengar Sehun menyebut Jeni sebagai perempuan jadi-jadian. Dilihat dari penampilannya Jeni memang tidak jauh berbeda dengan banci yang sering mangkal di Taman Lawang.
"Tidak akan pernah ada habisnya kalau kamu terus membicarakan ... siapa tadi namanya? Neni?"
Aku terbahak mendengar ucapan Sehun barusan. Setidaknya kebodohan cowok tengil ini bisa menghilangkan kekesalanku pada Jeni.
"Namanya Jeni, Sehun. Bukan Neni."
"Mau Jeni, Nini, atau Tami aku tidak peduli. Udah nggak bad mood lagi, kan?"
Aku mengangguk, mood ini sudah jauh lebih baik karena tingkah konyol Sehun. "Terima kasih."
Sehun tersenyum lantas mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Aku selalu merasa berubah menjadi anak kecil jika berada di dekatnya.
"Mau naik apa lagi?"
"Aku mau naik itu." Aku menunjuk bianglala. Kami sudah mencoba hampir semua permainan yang ada di pasar malam. Kora-kora, komedi putar, dan ombak banyu. Hanya bianglala yang belum karena antreannya tadi sangat panjang.
"Baiklah, ayo! Tapi antreannya masih panjang, tuh."
Aku pun mengikuti arah pandang Sehun. Meskipun sekarang sudah jam setengah sepuluh malam, ternyata masih banyak orang yang ingin naik bianglala. Maklum saja karena permainan itu wajib dicoba kalau pergi ke pasar malam sebab dari atas sana mata ini akan disuguhi pemandangan yang sangat indah. Lampu-lampu dari rumah penduduk yang menyala terlihat seperti pendar bintang. Sungguh menakjubkan!
"Yah ... padahal aku pengen naik bianglala."
"Bagaimana kalau kita beli jajan dulu?" Sehun sangat pengertian. Sepertinya dia sengaja mengajakku membeli makanan agar tidak bosan menunggu antrean.
"Ayo!" Aku kembali menggamit lengannya, mencari jajajan yang menarik mata.
"Kamu mau apa?"
"Mau itu," jawabku menunjuk cotton candy. Gula-gula kapas itu bentuknya sekarang lucu-lucu. Ada beruang, kelinci, dan kucing. Padahal saat aku kecil bentuk makanan manis itu seperti guling di kamar.
"Kayak anak kecil."
"Baru tahu, ya? Aku kan, masih imut dan menggemaskan."
"Makanya aku suka."
Aku tercengang. Rasa panas sontak menjalar di wajah. "Su ... a-apa? Suka?"
"Pak, beli gula-gula kapasnya tiga." Sehun tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah memesan cotton candy padahal aku penasaran sekali dengan ucapannya. Ish, menyebalkan!
![](https://img.wattpad.com/cover/206018440-288-k312863.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong Nakal
FanficDewasa 21+ [Jangan lupa Follow authornya] Sequel Menikah Dengan Keponakan Pernah gagal berumah tangga membuat Anne memilih untuk tidak menikah lagi. Kencan buta yang diatur oleh kedua orang tuanya sering kali gagal karena Anne ingin fokus membesarka...