Senyummu membuat perasaan ini semakin besar hingga aku merasakan sakit mengetahui fakta, kalau ketakutanku benar terjadi yaitu kehilanganmu.
- Airin
. . . . .
Sinar matahari menerobos masuk dari balik tirai jendela yang sedikit terbuka itu, membuat Airin masih tidur lelap perlahan mulai sadar dan membuka matanya. Dan hal pertama dia lihat langit kamar berwarna putih jelas bukan nuansa seperti kamarnya.
Airin beranjak duduk terlalu cepat sampai dia meringis sakit merasakan pusing di kepala. Mulai panik tapi melihat tubuhnya masih menggunakan pakaian sama seperti malam tadi rasa panik itu sedikit menghilang. Airin beranjak dari tempat tidur kemudian berlari menuju pintu dan membukanya.
Pandangan pertama dia lihat adalah ruangan tadinya asing sekarang terasa nyata. Dia berada di sebuah apartemen dan tentu saja ingat apartemen ini milik Adrian. Kejadian malam tadi membuatnya sadar kalau semua bukan mimpi semua adalah nyata.
Dia mulai mencari di mana Adrian lalu menemukan pria itu tidur di sofa masih dengan kemeja kantornya. Setetes air mata jatuh di pipi betapa dia merindukan pria di hadapannya hingga membuatnya tidak lagi bisa menahan tangis dia tidak sekuat itu sekarang.
Airin kembali memasuki kamar itu langsung menuju kamar mandi untuk mencuci wajah agar tangisnya bisa cepat berhenti. Tidak terlalu lama berada di sana setelahnya dia mencari keberadaan tasnya tergeletak di samping tempat tidur. Meraih ponsel terpampang di layar dengan tulisan lima puluh panggilan tidak terjawab dari Hardi.
Bertindak cepat Airin menghubungi Kakaknya menunggu dengan sabar dan saat panggilan terhubung,
"Iya Kak ini aku, maaf membuat semuanya khawatir. Iya aku nggak apa-apa malam tadi nggak pulang ng ... aku tidur tempat temanku Kak. Bukan Lisa nanti aku jelasin setelah aku pulang ke rumah oke, dadah Kakakku sayang."
Airin menghela napas mematikan sambungan telepon sebelum kembali keluar menuju dapur. Karena dia merindukan tempat ini terakhir dia ke sini enam bulan lalu mengingat semua itu air matanya kembali tumpah.
"Nggak ada bahan makanan di dapur."
Suara Adrian mengagetkan Airin wanita itu menghapus air matanya dan menoleh.
"Kamu menangis lagi?"
Airin tidak menjawab dia mengalihkan pandangan.
"Kamu lapar? Aku juga lapar. Bisakah kita belanja terlebih dahulu sebelum memasak?"
Satu hal baru Airin sadari Adrian kini berbicara dengannya menggunakan aku-kamu bukan gue-elo lagi. Perubahan kecil itu membuat hatinya tersentuh.
Airin menatap Adrian sebelum mengangguk memperlihatkan senyum kecilnya.
Dia bahkan tidak sadar senyum kecilnya itu membuat jantung Adrian berdebar kencang di luar kendali. Membuat pria itu kebingungan dengan perasaan aneh yang tiba-tiba dirasakannya.
. . . . .
Adrian memperhatikan Airin sedang sibuk memotong bawang. Wajah tenangnya membuat pria itu sekali lagi kepikiran suatu hal. Adrian berdiri di samping Airin dan dia menghentikan sebentar kegiatannya memotong tomat supaya bisa berbicara serius dengan wanita itu.
"Aku minta maaf."
Wanita itu menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Untuk sikapku waktu itu ke kamu. Aku pantas dapat tamparan itu."
Airin yang mendengar perkataan itu mencoba untuk tetap fokus pada bahan masaknya. Dia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa ingin menatap Adrian, "Aku udah maafkan."
Adrian tersenyum, "Bisakah kita berteman? Maksudku karena berpikir perusahaan kita saling terikat kontrak. Jadi biar kita lebih kenal satu sama lain? Aku nggak bermaksud apa-apa serius hanya ingin kenalan?"
Aku yang nggak bisa berteman denganmu Adrian, batin Airin sedih.
Dia benci menjadi seseorang mudah menangis. Tapi apa yang bisa dia lakukan sekarang? Dia terlalu mencintai Adrian hingga kehilangan pria itu adalah hal paling dia takutkan. Tapi semua ketakutannya kini menjadi nyata.
"Kamu menangis lagi?"
Airin menghapus cepat air matanya tapi sikapnya tersebut justru membuat kedua matanya perih.
"Perih ...!"
"Kamu lagi potong bawang, buka mata kamu."
"Nggak bisa,"
"Bisa coba dulu."
Adrian memegang wajah itu dia mendekatkan bibirnya pada kedua mata terpejam itu. Saat wanita itu perlahan membuka mata dia meniupnya secara bergantian terus dilakukan dengan lembut.
"Gimana? Masih perih?"
"Masih ..."
Adrian meniup kedua mata itu lagi, "Gimana sekarang?"
"Sudah mulai terasa hilang perihnya."
Adrian menatap mata itu dan perasaan asing muncul kembali sorot mata yang justru tidak terlihat asing.
Airin meraih kedua tangan Adrian di kedua pipinya, lalu menurunkan tangan itu secara perlahan, "Terima kasih."
Adrian tersadar sebelum mengangguk setelahnya mereka berdua kembali fokus pada tugas masing-masing mempersiapkan masakan.
Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit mempersiapkan menu nasi goreng spesial dua porsi. Setelah jadi Airin membawa dua piring itu ke meja makan.
Sedangkan Adrian yang memang sudah kelaparan langsung memakan sesendok nasi goreng buatan Airin.
"Enak. Ternyata kamu pintar masak."
Pemandangan seperti itu dinikmati Airin dengan penuh haru. Dia menyadari betapa dia sangat merindukan Adrian.
"Malam tadi kamu mimpi buruk, kamu berkata jangan pergi boleh aku tahu, yang kamu maksud siapa itu? Kalau nggak juga aku nggak akan maksa."
Susah payah Airin menahan air matanya untuk tidak keluar, "Dia orang yang aku cintai."
"Kekasihmu?"
Airin menunduk mencoba fokus dengan nasi gorengnya.
"Diam kamu berarti aku tebak iya. Dia di mana sekarang?"
Airin meneguk air putih berusaha untuk tidak menangis.
"Aku ingin tahu tentang kekasihmu itu. Apa dia meninggalkanmu? Apa dia selingkuh? Apa kalian berhubungan jarak jauh? Atau dia sudah mening -"
"Dia masih hidup maaf ... aku nggak bisa cerita."
"Nggak masalah tapi satu hal lagi ingin aku tanya. Apa wajah kekasihmu itu mirip denganku?"
. . . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
FATE [END]
RomanceThis work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia ( Undang - undang Hak Cipta Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 ) =================================== Adrian Rifainoharl (28th) - Baik, tampan, pintar serta CEO dari Relat...