FROM THE BEGINNING

297 73 17
                                    

Jika memulai semuanya dari awal bisa membuatku dekat lagi denganmu aku akan lakukan itu. Walau hatiku tetap saja ingin meminta lebih.

- Airin

. . . . .

Dinda hampir saja menyemburkan minumannya saat Airin dengan santai bicara mengenai Adrian. Bukan itu membuatnya kaget tapi Airin yang menginap di apartemen Adrian malam tadi.

"Kok bisa?!"

"Dia ikutin gue waktu jalan di trotoar malam tadi."

"Elo apa? Jalan sendirian di malam hari? Gimana kalo ada hal-hal nggak diinginkan kena sama lo? Gimana kalo lo diculik para preman sekitar sana lo napa ceroboh?!"

Airin menutup kedua telinga untung saja saat ini mereka hanya berdua dalam ruang kerjanya. Kalau berada di luar bisa dibayangkan apa yang akan terjadi? Teriakan Dinda akan menarik perhatian sekitar.

"Gu, gue hampir ditabrak mobil dan Adrian yang tolong ..."

Dinda menendang meja membuat Airin mengusap dadanya kaget.

"Elo hampir mati! Sekarang apa yang lo pikirin tentang gue? Kalo seandainya terjadi apa-apa sama lo, gue nggak bisa maafin diri gue sendiri, fuck!"

Airin beranjak dari kursi mendekat ke Dinda lalu memeluk sahabatnya itu, "Karna gue percaya doa lo terbaik buat gue selalu terlindungi, doa lo yang dikabulkan Tuhan buat jaga gue, thank you Din."

Dinda membalas pelukan Airin, "Gue mohon jangan ulangi lagi hal bisa buat lo celaka."

"Iya gue janji."

"Dan soal Adrian gue nggak mau lo harap lebih."

Airin tersenyum, "Gue bakal usaha buat Adrian ingat lagi sama gue."

Karena setelah percakapan terakhir mereka malam tadi, bagaimana Airin hampir saja ingin mengatakan jika kekasihnya adalah dia orang yang sama, tapi tega melupakan dirinya dengan mudah begitu saja. Airin sungguh merasa sedih tapi dia mulai berpikir satu hal bahwa dia akan mencobanya, mencoba yang pertama dan mungkin terakhir kali agar Adrian bisa kembali ingat lagi padanya.

"Gue nggak mau usaha lo sia-sia gue takut lo makin terpuruk."

"Maka dari itu lo semangatin gue, please? Demi sahabat tersayang lo nih?"

Apa pun akan Dinda lakukan terutama untuk kebahagiaan Airin. Dia berusaha menunjukkan senyuman walau keresahan semakin menyelimuti dirinya.

. . . . .

"Dia mungkin lagi di kantornya nggak di sini." Bisik Dinda sejak tadi melihat Airin bersemangat ingin bertemu Adrian.

Mereka sedang berada di restoran pria itu karena Airin yang meminta. Dan Dinda melihat raut kesedihan di wajah Airin perlahan menghilang hanya karena hal seperti ini.

"Dia ada di sini Dinda liat arah jam sembilan."

Dinda menoleh tersenyum melihat Adrian sedang sibuk mencatat sesuatu di depan sana.

"Samperin sana."

"Gu, gue harus pake alasan apaan? Gue nggak pintar bohong ..."

"Samperin aja dulu. Gue yakin nanti kalo lo udah berdiri di hadapan dia, berbagai alasan lo pasti bisa keluarin."

Airin beranjak berdiri berjalan menghampiri meja pesanan sembari melirik ke Adrian. Pria itu berdiri di samping dirinya masih sibuk dengan catatan yang dipegang.

"Ng ... Mbak, pesan spaghetti-nya satu porsi lagi ya?"

"Baik Mbak, apa ada lagi?"

"Itu saja terima kasih."

Airin menoleh matanya beradu pandang dengan Adrian. Dia bisa merasakan kalau kedua pipinya memerah sekarang.

"Kamu ada di sini? Sama siapa?"

"Ng ... itu te, teman."

Adrian tersenyum, "Maaf, aku nggak perhatikan kamu datang."

"Nggak apa kok, kalau gitu aku permisi kembali duduk."

Adrian mengangguk melihat Airin melangkah pergi. Ada yang berbeda dari wanita itu sorot matanya tidak lagi menahan kesedihan tapi sesuatu yang baru.

"Jantung gue Dinda ...!" Ucap Airin berusaha untuk tenang setelah mengambil tempat duduk.

"Gimana? Apa reaksi dia saat liat lo ada di sini?"

Airin memegang kedua pipi, "Gue nggak tau ... gue bingung."

Dinda tertawa kembali mengunyah kentang gorengnya.

Sepuluh menit mereka tenang sambil sibuk menikmati makanan masing-masing, pesanan baru akhirnya datang dengan Adrian sendiri mengantarkan langsung.

"Pesanannya datang, selamat menikmati."

"Kok kamu yang bawa ke sini?"

Adrian menatap Airin dengan senyum, "Nggak apa-apa, kamu pasti bingung, kan? Kenapa sejak tadi aku sibuk di depan? Aku pemilik tempat makan ini jadi lain kali jangan kaget ya?"

"Apa? Lo pemilik nih tempat?" Dinda mencoba nge-drama dengan ekpresi wajah dibuat-buat.

Adrian mengangguk, "Kita belum kenalan sejak insiden lo, nyapa gue dengan sebuah tamparan."

Dinda tersenyum mengulurkan tangan, "Gue Dinda sahabatnya Airin. Dan insiden waktu itu gue belum puas kok, kalo boleh gue mau tampar lo sekali lagi."

Adrian melotot membalas uluran tangan Dinda, "Gue Adrian teman baru Airin. Dan tamparan itu udah cukup sekali gue dapatkan, karna kalo berkali-kali gue bisa sakit lama."

Senyum Dinda hilang begitu saja mendengar kata teman yang diucapkan Adrian dengan senang seperti itu. Dinda menoleh menatap Airin sedang tersenyum memandang pria itu seakan tidak memedulikan respon dari sahabatnya yang sedih seperti ini.

"Gimana rasanya? Enak?" Tanya Adrian setelah Airin menyendok suapan pertama dari pesanan terbarunya.

Airin mengangguk sambil tersenyum dan Adrian lagi terpaku dengan senyuman itu karena tidak tahu kenapa dia merasa tidak asing dengan senyuman tersebut. Seakan senyuman seperti ini pernah dia lihat sebelumnya tapi di mana? Dan siapa pemilik senyum seperti ini?

. . . . .

FATE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang