16. Niall

123 16 12
                                    


Hari-hari telah berlalu, tak terasa Niall sudah menghabiskan empat dari tujuh hari yang dimilikinya di kota yang sering disebutnya sebagai 'rumah'. Lelaki itu memang sama sekali tidak memiliki darah Inggris dalam dirinya. Darah Irlandia tentu jauh mendominasi dirinya, namun untuk beberapa alasan tertentu, London memiliki arti tersendiri baginya.

Seakan Niall memiliki ikatan yang erat dengan kota yang terkenal dengan bus merahnya ini. Irlandia memang akan selalu menjadi kampung halaman tercintanya, definisi rumah dalam artian yang sebenarnya. Tempat dimana Niall benar-benar merasa nyaman, tenang, dan lebih merasa menjadi dirinya sendiri.

Tapi kembali lagi, ada sesuatu hal yang terjadi di kota ini-London yang membuat Niall bisa menjadi dirinya yang sekarang. Seorang pengusaha sukses yang didambakan banyak orang, terlebih usianya masih sangat muda.

Pagi ini, jadwal Niall tidak terlalu padat seperti biasanya. Tara berkata Niall hanya perlu menghadiri sebuah pesta kecil sore nanti atas kelancaran acara charity yang belum lama ini diselenggarakan. Acara itu dimulai pukul lima sore, sedangkan Niall sudah siap dengan kemeja santai juga celana bahan semi formalnya.

"Taz, bisakah kau hubungi Deo? katakan padanya untuk datang kesini sekarang." Niall sedikit berteriak, ia tengah serius menata rambutnya di depan cermin.

"Dia sudah dijalan." seru Tara. "Apa kau masih lama? sudah hampir setengah jam kau berdiri di hadapan cermin itu." Tara berdiri beberapa senti di belakang Niall, melipat kedua tangan di dada sambil memperhatikan Niall yang masih saja sibuk mengatur rambutnya.

Mendengar kalimat sindiran yang dilontarkan Tara, Niall terkekeh kecil. Sekali lagi ia menyisir rambutnya secara acak dengan jari-jarinya, kemudian menatanya lagi. Percayalah, Niall telah melakukan hal itu sejak tadi.

"Done. Sekarang step terakhir," Niall tersenyum puas melihat tampilannya di cermin, kemudian ia mengeluarkan ponsel dari kantung celananya. "Let's see what Ash think about this look."

Mengarahkan ponselnya pada cermin, Niall mulai berpose dengan ibu jari dan telunjuk yang mengarah pada cermin-seperti sebuah pistol. Tara memperhatikan tingkah konyol bosnya itu sambil menggelengkan kepala.

"The girlfriend's approval, huh?" cibirnya.

"Jangan berkata seperti kau tidak pernah melakukannya pada kekasihmu, Tazler." kali ini, Niall memutar kedua bola matanya.

Sebelum Tara sempat membalas ucapan Niall, bell apartemen berbunyi.

Itu pasti Deo, pikir Niall.

Tanpa aba-aba lagi, Tara segera meninggalkan Niall dan berjalan menuju pintu utama untuk membuka pintu. Niall kembali mengamati penampilannya untuk terakhir kali pada cermin, sebelum mengecek ponselnya lagi.

From : Ashley Hamilton
Approved. The floof is insane! x

Niall tersenyum membaca balasan yang dikirmkan Ashley, gadisnya itu tak pernah gagal membuatnya tersenyum.

To : Ashley Hamilton
I love you and I miss you x

Setelah mengirimkan balasan untuk Ashley, Niall segera keluar dari closet-nya. Berjalan menuju ruang tengah apartemen, dimana Deo-sepupunya sudah duduk dengan santai pada sofa abu-abu berhadapan dengan televisi super besar yang tengah menayangkan sebuah acara olahraga.

"Nialler!" Deo bangkit begitu menyadari kehadiran Niall, mereka pun berpelukan singkat. "Miss ya! sudah lama sekali semenjak terakhir kau berkunjung ke London."

"Sorry, terlalu sibuk mengurus pekerjaanku di LA." guraunya.

"Terlalu sibuk mengurus pekerjaan atau menghindar dari sesuatu?" Deo menaikan satu alisnya, sementara Niall sempat mematung.

Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang