Strange

104 6 4
                                    

Malam pun tiba, langit tampak gelap tanpa hadirnya bintang. Serayu angin melambai pertanda hujan akan turun mengguyur bumi. Seorang gadis bersurai hitam tampak mendekuh di atas ranjang. Menahan setiap rasa sakit yang menghujami kepalanya.

Mata bulat milik Navya beralih menatap langit yang gelap dan hampa. Bintang seakan bersembunyi dibalik awan hitam. Enggan menampakkan diri untuk memancarkan cahaya redupnya.

"Ukh..." Navya meringis ketika kepalanya kembali sakit seakan dipukul oleh benda tumpul. Sejak pagi tadi rasa sakit di kepala nya tak kunjung hilang. Bahkan dirinya sampai hilang kendali karena rasa sakit luar biasa yang ia tahan itu.

"Navya?" Suara lembut dari seorang wanita paruh baya mampu mengalihkan pandangan gadis itu. Ia menatap sang ibu yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Kamu tidak apa-apa, Nak?" Navya tersenyum simpul. Berusaha untuk menyembunyikan rasa sakit nya. Ia tak ingin membuat sang ibu khawatir dengan keadaan dirinya saat ini.

"Hem. Navya baik-baik saja, ma." Sang ibu tak kuasa menahan genangan air matanya. Ia tahu kalimat itu di lontarkan hanya untuk menenangkan dirinya. Karena siapapun yang melihat keadaan Navya saat ini, mereka akan tahu betapa tersiksa nya ia menahan rasa sakit itu.

Wanita paruh baya itu mulai melangkah memasuki kamar putrinya. Hingga wajah pucat anaknya dapat ia lihat dengan begitu jelas. Pemandangan ini mampu menyayat perasaan nya. Siapa yang tidak sedih jika melihat putrimu sedang menahan rasa sakit yang luar biasa?

"Kamu sudah minum obat?"

"Hem."

"Tidur lah, mama akan menemani mu malam ini." Navya menatap ibunya lirih. Ia tahu saat ini sang ibu pasti sedang merasa sedih karena keadaan nya. Namun ia tak bisa melakukan apapun selain menerima takdir.

Navya pun berbaring di ranjang nya, disusul oleh sang ibu yang mengisi ruang kosong samping kanan anaknya. Ia mulai membelai lembut surai hitam milik Navya, menyalurkan rasa kasih sayang untuk sang putri.

"... Ma?"

"Hem. Ada apa, nak?"

"Terima kasih..." Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya menahan isak tangis. Kalimat yang diucapkan oleh Navya telah mencubit perasaan nya. Sungguh, ia tak ingin melihat putrinya harus menahan rasa sakit seorang diri. Jika Tuhan berkehendak, biarlah ia yang merasakan sakit tapi jangan putrinya.

"Stts, tidur lah... Mama akan menghilangkan rasa sakit itu..."

.
.
.

Pagi tiba, mentari kembali bersembunyi dibalik awan hitam. Langit terlihat gelap tak lagi cerah seperti biasanya. Genangan air pun terlihat dimana-mana.

Seorang gadis dengan surai hitam tampak keluar dari dalam mobil bewarna hitam mengkilap. Menatap nanar bangunan sekolah nya yang begitu tinggi menjulang.

"Jika Non membutuhkan sesuatu, langsung kabari saya. Oke?" Navya mengangguk mendengar ujaran paman Eko, supir pribadinya.

Sebenarnya kedua orang tua Navya sudah melarang nya untuk datang ke sekolah. Mengingat Navya waktu itu tiba-tiba drop dan keadaan nya yang memperihatinkan. Tapi ia tetap saja keras kepala dan bersikeras untuk datang ke sekolah. Sekarang rasa sakit di kepalanya mulai membaik. Navya akan jenuh jika tetap berada di rumah.

Setelah mobil yang dikendarai oleh paman Eko pergi meninggalkan perkarangan sekolah, Navya pun melangkah memasuki gerbang.

Haikal Pov

Pagi ini hawa terasa sangat sejuk. Mungkin karena semalaman tadi hujan deras hingga meninggalkan genangan air dimana-mana.

Sejak pulang sekolah kemarin, entah kenapa aku selalu memikirkan Navya. Waktu itu sikap nya benar-benar berubah. Tentu saja aku menjadi bingung. Bahkan adikku juga terus menanyai keadaan Navya. Ia ingin menemuinya. Tapi aku tak yakin jika Navya mau menerima ajakan ku.

Kenangan Bersama muTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang