Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan kerja Michael. Pintu tidak dikunci agar tak ada oang yang curiga. Mereka terlihat seperti siswa dan dosen yang sedang dalam sesi konseling.
Sebenarnya Michael tidak suka ide mereka berbicara hal pribadi di dalam ruangan kerjanya. Terlalu riskan. Banyak orang lalu lalang, rekan-rekan dosen yang bisa datang tiba-tiba atau siswa-siswa yang minta jadwal kuliah dan semacamnya. Tapi apa boleh buat, hari itu dia mengalah karena Harry sama sekali tidak bergeming ketika diajak mengobrol di café di luar area kampus.
"Aku tidak punya banyak waktu" Michael memulai. Dia sangat paham kalau ini adalah resiko berhubungan dengan anak laki-laki yang jauh lebih muda, terlebih lagi, ini muridnya sendiri! Tapi demi Tuhan, dia sudah menahan diri berkali-kali, menyebut dirinya sendiri pedofil, tapi tidak pernah berhasil menepis pesona Harry Styles. Anak laki-laki ini datang menggodanya tanpa ampun, dan dirinya dengan mudah terjebak dalam lingkaran setan hubungan terlarang itu begitu saja.
"Oke" Harry mengangguk. Dia masih menyeruput milkshakenya.
"Tentang kejadian tadi malam. Kenapa kamu tiba-tiba pergi?" Michael berusaha sesabar mungkin.
Harry menyimpan gelas milkshakenya di atas meja. "Aku ingin minta maaf soal itu, Michael" dia memikirkan alasan paling cepat, "Zayn menelpon pas kamu ada di kamar mandi" dan hanya itu yang melintas di pikirannya.
"Zayn?"
"Kak- erm, dulu dia kakakku. Kakak tiri. Dia sedang berkunjung"
"Oh" Michael mengangguk-angguk. "Dia curiga pada hubungan kita?"
"Tidak!" jawab Harry dengan cepat. "Tentu saja tidak. Gak ada yang tahu soal kita. Dia cuma tanya aku ada di mana dan memintaku pulang karena ada hal penting yang harus kami bicarakan"
Michael memandangnya tajam, kemudian tertawa kecil. "Jangan bohong, Harry"
Harry menghela nafas panjang dan akhirnya menyerah. Dia mengambil milkshakenya lagi dan menyeruputnya sampai habis.
"Harry, aku hanya ingin membicarakan ini sebagai dua orang laki-laki dewasa" Michael merasa agak ganjil mengucapkan hal tersebut. Harry jelas-jelas belum dewasa, dia masih seorang remaja bandel yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Sejak kejadian tadi malam, dia sudah berpikir panjang mengenai hubungannya dengan Harry. "Tadi malam aku khawatir sekali padamu. Tiba-tiba kamu kabur, tanpa bilang apa-apa, ketika aku sudah...dalam kondisi begitu. Aku hanya khawatir membuatmu tidak nyaman. Itu saja"
Ketika Harry diam saja, Michael melanjutkan perkataannya, "Aku mengerti kalau kamu belum siap. Tapi kamu sendiri yang minta kita untuk –yeah, jadi kupikir itulah yang kamu inginkan. Aku tidak tahu kalau kamu tidak siap kalau kamu tidak bilang. Seharusnya kamu bilang saja, dan kita bisa bicara baik-baik. Kita gak usah melakukan apa-apa, kamu tahu itu kan? Aku gak akan memaksamu"
"Aku tidak tahu apa yang kupikirkan" sahut Harry pelan. "Aku pergi bukan karena gak menginginkanmu, tapi-"
"Yeah? Benarkah? Kamu menginginkanku? Tapi?"
"Kamu benar. Malam tadi aku tidak siap. Tapi bukan berarti aku tidak mau melakukannya! Aku tahu aku sudah 17 tahun dan sanggup melakukan apapun"
"Sudah kuduga" Michael menyandarkan punggungnya di sofa.
"Michael, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa membuktikannya padamu. Tadi malam, aku hanya....kurang fokus-"
"Karena telpon dari kakakmu?"
Harry bahkan tidak menerima telpon apapun dari Zayn. Tapi dia akan memainkan kebohongan ini sebaik-baiknya. "Salah satunya. Tapi itu hanya sesaat saja kok"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother | Zarry
Fanfiction(Completed)- ketika Ibunya menikah dengan laki-laki dari keluarga Malik, Harry tidak pernah menyukai siapapun dari keluarga barunya, terutama kakak laki-lakinya, Zayn. Keduanya mengalami perjalanan berliku sebagai Styles dan Malik demi mencapai keha...