Sembilan

309 29 55
                                    

Pada akhir oktober 2 tahun lalu, ketika usia Harry masih 15 tahun, Zayn mengambil cuti dan menghabiskan waktu beberapa hari di kediaman Styles. Harry tak tahu apa sebabnya, namun konon Zayn sedang menenangkan diri. Hampir tiap malam dia pergi dengan sekelompok orang, mungkin teman-teman kerjanya, dan baru pulang lewat tengah malam. Dan suatu kali, dia bahkan pulang menjelang fajar. Harry mengetahuinya karena kebetulan dia terbangun saat perutnya melilit ingin buang air besar. Dia berlari ke kamar mandi.

Waktu itu Harry mendengar suara orang membuka kunci pintu depan dan daun pintu berderik pelan. Siapa yang malam-malam masih berkeliaran di luar, pikirnya. Ini sudah jam 2 dini hari. Oh, pasti Zayn baru balik seperti biasa. Dia keluar dari kamar tidur dan dilihatnya Zayn berjalan melewati lorong di depan kamar orang tuanya, menuju ke dapur.

Tapi Zayn berjalan agak sempoyongan. Apa mungkin dia mabuk? Harry jarang melihat Zayn mabuk.

Harry menyusulnya ke dapur karena ingin tahu apa yang terjadi pada kakak tirinya.

Zayn tampak duduk di atas konter dapur sambil meneguk segelas air putih hingga habis. Lelaki itu tidak menyalakan lampu hingga wajahnya tak terlihat jelas. Cahaya yang masuk hanya berasal dari lampu halaman samping melalui sela-sela tirai. "Zayn?" Harry memanggil, memastikan laki-laki itu tidak terlalu syok melihat dirinya muncul tiba-tiba di dapur.

"Heyy" Zayn mengangkat gelasnya. "Cheers"

Harry sekarang yakin kalau laki-laki itu memang mabuk. Dia menyalakan lampu. Zayn terlihat lebih jelas, matanya sayu, rambut cepak hitamnya acak-acakan. Dia tampak sangat kusut dan kacau sekali seperti baru saja bangun tidur.

"Kamu belum tidur?" tanya Zayn kemudian.

"Aku kebangun. Haus" Harry mengamati kakaknya dari dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. "Kamu baru pulang?"

"Hmm" Zayn mengangguk lemah sambil menyandarkan punggungnya di dinding.

"Kamu mabuk?"

"Dikit" Zayn terkekeh-kekeh. Keringat muncul di dahinya. Wajahnya mulai memerah.

"Tumben-"

"Aku sudah legal. Kamu belum. Jangan minum minuman keras sebelum umur 21 tahun, oke?"

"Bodo amat sih, tapi oke deh pak" Harry tahu dia tak bisa menanggapi omongan orang mabuk dengan serius.

"Heyyy. Gak sopan sama yang lebih tua"

Kalau Zayn tidak mabuk, mungkin Harry akan menjawab dengan sinis dan mereka akan berakhir dengan balas-balasan kesinisan seperti biasa. Dia tahu kalau Zayn sering bercanda soal perbedaan umur mereka yang cukup jauh, dan kadang itu membuat Zayn merasa lebih superior –bersikap sok tua terutama saat mereka pertama berkenalan. Tapi sepertinya Zayn banyak belajar dari pengalaman berkomunikasi dengan Harry, dia berubah sedikit demi sedikit, menurunkan ego serta melakukan pendekatan ala big bro baik hati yang tidak gampang menghakimi atau mendikte seperti pada anak kecil bau kencur.

Dulu, Zayn sempat sangat protektif pad Harry maupun Gemma. Dia sensitif soal minuman keras dan seks. Aku ingin kamu melakukan sesuatu karena kamu sudah memahami konsekwensi dan bertanggung jawab penuh pada pilihanmu itu, begitu Zayn sering mengulang petuahnya pada Harry. Mereka sering bertengkar karena Harry cenderung ingin mencoba banyak hal.

Belakangan, hubungan persaudaraan mereka meretak setelah Anne dan Yaser meninggal, lewat trigger yang sebenarnya cukup sepele; Zayn berjanji pada Harry untuk tidak protektif lagi karena Zayn percaya padanya, dengan syarat mereka harus menjalin komunikasi yang baik dan Harry harus berbicara padanya jika ada masalah. Masalah apapun. Zayn ingin mengambil alih posisi perwalian dua keturunan Styles sementara. Dan kejadian penamparan pada senior Harry saat mereka berciuman di rumah keluarga Styles, jadi penyebab kacaunya hubungan mereka. Zayn masih bersikap protektif, Harry tidak suka dengan perlakuan macam begitu dan dia berteriak di depan laki-laki itu; kenapa kamu harus mengatur hidupku? Kamu bahkan bukan kakakku!

Dear Brother | ZarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang